"Ada acara apa Ma. Kenapa masak banyak gini?" Sinta baru memasuki area dapur tapi sudah disuguhi berbagai jenis makanan yang Bu Brata buat dibantu Si Mbok dan Mbak Ina.
"Nanti malam keluarga Pak Wirya datang berkunjung."
"Berkunjung?" Sinta tersentak. Itu artinya, perkenalan Arshan dan putrinya Pak Wirya tetap terlaksana. Meski Kakaknya dengan tegas menolak.
"Tapi Kak Arshan kan udah bilang nggak mau, Ma." Sinta mengingatkan Mamanya akan ketidaksediaan kakaknya pagi itu.
"Ini tidak ada kaitannya sama Kakakmu. Memang Pak Wirya sekeluarga pengen kemari saja, sekedar silaturrahmi." Jelas Bu Brata.
"Tetep aja ujung-ujungnya ada udang dibalik batu."
Sinta berkata dengan kesal. Tidak mungkin Pak Wirya datang hanya sekedar berkunjung, tapi ada maksud lain. Dan itu adalah untuk mengenalkan putrinya agar bisa berkenalan dengan kakaknya.
"Ya nggak apa-apa. Siapa tahu aja, kakakmu tertarik. Tidak ada salahnya kan?" Bu Brata menoleh dengan senyum penuh keibuan.
"Memang seperti apa sih putri Pak Wirya itu. Mama sampai segitunya." Sinta sangat penasaran sambil mencicipi makanan.
"Yang pasti jika bersanding dengan Kakakmu sangat serasi. Yang satu cantik, satunya tampan. Apalagi anaknya teman dari Papamu, tentu tidak diragukan lagi."
"Cantik belum tentu hatinya baik." Koreksi Sinta.
Bu Brata menggeleng pelan, anak bungsunya itu kenapa tidak setuju jika Arshan ia dekatkan dengan putri dari kolega suaminya.
"Daripada kamu ngomong terus. Lebih baik bantu Mama, sini." Bu Brata menarik tangan Sinta.
Meski hatinya dongkol, Sinta tetap menuruti permintaan Bu Brata.
"Ma." Panggilnya.
"Ya." Sahut Bu Brata tanpa menoleh.
"Seandainya ada gadis yang di sukai Kakak, tapi bukan dari kalangan berada seperti kita. Apa Mama bakal terima?" Tanya Sinta pelan.
Bu Brata terpaksa menghentikan gerakan tangannya yang semula menuang udang asam manis ke dalam mangkuk. Sinta sampai menggigit bibir begitu melihat reaksi wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Ya, seenggaknya Mama harus tahu dulu, orangnya seperti apa." Bu Brata kembali melanjutkan kegiatannya.
"Meski bebet, bibit dan bobotnya tidak sepadan dengan kita?" Sinta menambahkan.
"Nak, kita hidup dalam lingkungan sosial. Miskin dan kaya itu hanya status belaka. Harta yang kita miliki itu hanya titipan. Mama juga tidak pernah kan mengajari anak-anak Mama ini untuk pilih-pilih teman? Jadi, Mama tidak keberatan, asal gadis yang di sukai kakakmu itu baik, tahu sopan santun."
Sinta tersenyum lebar sambil memeluk erat Bu Brata. Mamanya memang berhati baik, beruntung ia terlahir dari rahimnya. Tapi ada satu yang ia khawatirkan, bagaimana jika Arshan langsung tertarik pada putri kolega Pak Brata itu. Apa yang harus ia lakukan andai itu benar-benar terjadi.
🍁🍁🍁
Tepat jam tujuh, keluarga Pak Wirya datang. Pak Brata dan Bu Brata menyambut tamunya dengan sebuah pelukan sebagai bentuk formalitas. Sinta memindai sosok gadis yang berdiri anggun di hadapannya.
Benar kata Pak Brata, usianya sebaya dengan dirinya. Memiliki bentuk tubuh ideal bagi seorang wanita, kulit putih, tak lupa wajahnya sangat cantik. Benar-benar sempurna. Ia saja sebagai perempuan dibuat kagum, tapi ia tidak boleh goyah. Tetap Adis yang harus ia dukung.
"Mari masuk." Bu Brata mengajak tamu-tamu itu ke dalam ruang tamu.
Sinta memilih berjalan paling belakang. Awalnya ia tidak berminat menyambut tamu Pak Brata itu. Tapi karena desakan Mamanya, ia terpaksa turun. Arshan sendiri masih berada di kamar. Lelaki itu tidak mengetahui jika kolega Papanya datang malam ini.
"Putri Pak Wirya ini bernama Cindi, Ma." Pak Brata mengenalkan.
"Usianya berapa, kalau boleh tahu?" Tanya Bu Brata.
"Dua puluh empat, Tante." Jawab Cindi sopan.
"Wah, kalau gini caranya, bisa-bisa terpikat Kakak gue. Suaranya aja merdu banget." Batin Sinta ketar-ketir. Ia tidak bisa mengelak jika aura Cindi sangat kuat dan mampu membuat siapa saja langsung menyukainya.
"Beda satu tahun sama putri Tante ini. Namanya Sinta. Usianya dua puluh tiga." Sinta hanya mengulas senyum saat Bu Brata menyebut namanya.
"Dari tadi saya tidak melihat Arshan, Pak Brata?" Tanya Pak Wirya.
"Dia ada di kamarnya. Tadi baru pulang dari kantor. Maklum, akhir-akhir ini pekerjaannya sangat banyak." Jawab Pak Brata dengan kekehan.
"Putra anda memang pekerja keras, saya cukup kagum dengan kemampuannya mengolah perusahaan." Pak Wirya juga ikutan tertawa.
"Begitulah, karena siapa lagi penerus perusahaan saya jika bukan Arshan. Sedangkan anak bungsu saya ini tidak begitu berminat dengan dunia bisnis." Jawab Pak Brata.
Pak Wirya mengangguk-angguk. "Ya, sudah pasti itu, Pak Brata. Kebanyakan anak laki-laki lah yang mengambil alih bisnis keluarga. Tapi itu tidak berlaku bagi saya, karena saya dan istri saya hanya memiliki Cindi. Dan untuk ke depannya, Cindi lah yang akan memimpin perusahaan saya."
"Huh.. bosen banget pembicaraan mereka." Sinta hanya mampu mengeluh dalam hati mendengar pembicaraan orang dewasa di depannya.
"Ma, Sinta ke kamar dulu ya." Bisiknya pada Bu Brata yang duduk di sampingnya.
"Hus, nggak sopan kamu, ada tamu kok malah ditinggal. Lebih baik kamu panggil kakakmu. Suruh dia turun." Balas Bu Brata berbisik.
"Ada apa, Ma?" Tanya Pak Brata.
"Ini Pa. Sinta, Mama suruh panggil Arshan."
Pak Brata mengangguk. "Iya, panggil kakakmu, Nak."
Sinta akhirnya pamit ke atas. Di tengah anak tangga yang ia naiki, ia berpapasan dengan Arshan. Sepertinya Kakaknya itu baru selesai mandi. Rambut cepaknya nampak basah.
"Kenapa buru-buru?" Tanya laki-laki itu.
"Di bawah ada tamunya Papa. Kakak disuruh turun."
"Siapa? Kenapa Kakak harus menemui mereka?" Sebelah alisnya terangkat.
"Pak Wirya." Jawab Sinta singkat, nadanya juga malas saat menyebut nama itu.
Arshan menghembus napas di udara. "Ya sudah, ayo."
"Nah, itu dia putra saya." Pak Brata tersenyum lebar. Arshan menyalami satu-persatu tamu Papanya.
"Gimana kabar kamu, tampan?" Pak Wirya bertanya sambil menepuk bahu Arshan.
"Baik Om."
"Kenalin, ini putri Om. Namanya Cindi."
Cindi tersenyum manis sambil menyelipkan rambut ke telinga. Tingkahnya malu-malu. Arshan hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa. Hingga Bu Brata mengajak mereka semua untuk makan malam.
Sedari tadi Sinta tak henti-hentinya menatap Cindi yang mencuri pandang kepada kakaknya. Sepertinya gadis itu sudah mulai menunjukkan ketertarikannya.
Setelah acara makan, mereka kembali ke ruang tamu. Arshan berpamitan untuk kembali ke kamar mengecek pekerjaan yang belum ia selesaikan sewaktu di kantor.
"Jangan pergi dulu Nak, temani Cindi ngobrol di depan. Biar kalian akrab." Itu suara Bu Brata yang menyuruh. Wanita paruh baya itu ingin anaknya lebih dekat dengan anaknya Pak Wirya.
"Benar kata Mamamu. Pekerjaan bisa kamu tunda." Ucap Pak Brata.
"Hm, baiklah. Ayo ke depan." Ajak Arshan.
Cindi mengikuti langkah Arshan setelah berpamitan pada para orangtua.
Sinta diam-diam mengikuti langkah mereka agar tidak ketahuan Mama Papanya. Karena Sinta tidak mau terlewati satu hal di antara dua sejoli yang akan mengakrabkan diri itu.
.
.
.
9 Oktober 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...