6. Balutan luka

125K 10K 305
                                    

Selama dua hari Lana beristirahat total di kamar. Tak ada interaksi yang dilakukannya bersama orang luar. Sesekali ada pelayan yang masuk untuk membantunya membersihkan diri serta membawakan makanan tiga kali sehari, terkadang juga camilan.

Tok tok!

Saat pintu di ketuk seorang pelayan wanita masuk dan memberitahu, "Yang Mulia Kaisar sedang menuju kemari." Lalu dia keluar dan pergi lagi.

Lana masih terbaring dikasur tapi dalam keadaan sadar dan merasa sedikit kebas pada lehernya yang kini sudah dibalut perban baru.

Tak ada seorangpun di kamar itu selain dirinya, membuat Lana jadi merasa agak terintimidasi ketika Yohan akhirnya sampai di dalam sana dan tak langsung mengatakan apa-apa melainkan menatapnya dengan sorot datar yang sering membuat orang salah paham karena lebih cocok disebut sebagai tatapan mengajak perkelahian.

"Kelihatan kau sudah membaik." Ujar Yohan setelah mengamati Lana sebentar tanpa menanyakan bagaimana keadaan gadis itu.

Gadis itu hanya mengangguk, mengiyakan perkataan pria dihadapannya. Pria yang berstatus sebagai suaminya itu masih menatap dengan sorot datar tanpa ada sedikitpun ketertarikan di dalamnya.

"Baguslah. Ada kunjungan tamu dari luar wilayah. Mereka ingin membangun kerjasama dan kau harus hadir mendampingiku dalam pertemuan---"

"AH, ADUHH!" Lana berteriak mengaduh kesakitan sembari memegangi lehernya dan sesekali mengintip ke arah Yohan melalui sudut mata untuk melihat reaksi pria itu.

"L-leherku... aku tidak bisa m-merasakan leherku. Aku... awww..." semakin meringis, Lana menunjukkan ekspresi kesakitan brutal.

Yohan masih menatapnya datar lalu alisnya terangkat satu. "Ekspresimu terlalu dibuat-buat." Komentarnya. "Lakukan lebih natural lain kali." Ucapnya seraya berbalik pergi.

Namun sebelum keluar melewati pintu besar nan megah itu, Yohan menoleh dan memperingatkan. "Waktumu untuk bersiap hanya tiga puluh menit."

"Dasar berhati kejam!" Lana bersungut setelah Yohan tidak ada diruangannya sebab ia hanya berani mengatakan kalimat tersebut dibelakang pria itu.

"Permisi, Yang Mulia. Boleh saya masuk?" Hestia mengetuk pintu dan menunggu jawaban setuju dari Lana sebelum melangkah masuk ke ruangan itu bersama gaun yang dipintakan oleh Yurisia untuk diberikan pada Lana.

"Ibu Suri mengirim gaun ini untuk anda kenakan dalam acara pertemuan." Ucap Hestia memberitahu.

"Gaunnya terlalu ramai..." gumam Lana mengomentari, "properti manik-manik perhiasannya juga terlalu banyak dan terlihat norak sekali. Sangat norak!" tanpa sadar Lana mengeraskan dua kata terakhir yang keluar dari mulutnya.

Sontak hal itu membuat Hestia kebingungan karena tak mengerti. "A-anda bilang apa, Yang Mulia?"

"Aku akan seperti karnaval berjalan jika mengenakan itu!" Protes Lana pada Hestia.

"Bawakan gaun lain—ah, tidak. Tidak, tidak, jangan dulu..." Lana meringis pelan, ditatapnya Hestia sekali lagi. "Aku sungguh harus memakai... ini?"

Hestia mengangguk. "Gaun ini indah, Yang Mulia. Saya rasa ini cocok---"

"Tidak." Potong Lana cepat. "Dan kenapa ungu!?" Lana tak tahu mengapa tetapi dia sangat kesal saat mendapati warna tersendiri menjadi dasar utama dari warna gaun yang harus dipakainya.

"Aku tidak mau."

"Maafkan saya Yang Mulia tapi, gaun ini cantik sekali dan cocok dipakai diatas kulit anda yang putih." Lanjut Hestia mencoba menjelaskan pada Lana.

"Kalau begitu..." sengaja tak langsung menyambut kalimatnya, Lana beralih bangkit dari kasur dan menghampiri Hestia lalu merebut gaun itu dari tangannya. "Aku ingin kau mencobanya terlebih dahulu. Aku adalah Permaisuri, kau tidak bisa menolakku."

Lana's LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang