36. He gave me a Hickey

90.9K 7.6K 1.8K
                                    

Lana membuang wajahnya yang agak memerah ke arah lain. "Perkataanmu sangat tidak mendasar, Yang Mulia."

"Aku tidak membutuhkan dasar apapun, Permaisuri." Yohan membalas dengan suara yang terdengar agak parau lalu pria itu berdehem ringan sambil melakukan aksi menempelkan belati panas ke luka di lengannya.

Lana menoleh lagi, menatap pria yang duduk tepat disebelahnya. "Sungguh tak sakit?"

"Wajahku terlihat kesakitan?" alih-alih menjawab Yohan justru balik bertanya sambil mendekatkan wajah tanpa ekspresinya ke Lana.

"Wajahmu terlihat sempurna." Celetuk Lana jujur.

"Aku tahu, beberapa orang menyebutku tampan." Sahut Yohan mulai tertarik berbincang pada Lana atau sebenarnya selama ini dia menunggu waktu gadis itu berbicara banyak dengannya?

"Beberapa lainnya mengatakan sangat tampan." Imbuhnya.

"Mereka berkata jujur." Jawaban dari Lana sukses membuat kening Yohan berkerut, merasa terheran lebih tepatnya.

"Apa itu benar?"

Kening Lana berkerut mendengar penuturan tanya dari pria di hadapannya ini yang terkesan meragukan perkataan jujur dari orang-orang.

"Seharusnya iya." Lana mengangguk-angguk setelah berpikir cukup panjang sambil curi-curi pandang mengamati paras tampan sempurna bak ukiran dewa Yunani atau mungkin lebih di hadapannya.

Yohan masih menatap, terlihat kerutan di dahinya perlahan memudar kembali menjadi mulus. Apakah barusan Lana menyebutnya tampan? Ah, itu sedikit membuat bagian belakang telinganya panas dan memerah.

Oke, abaikan itu. Setelah selesai dengan lukanya yang kini terlihat mirip seperti luka bakar bahkan Lana tak kuasa melihatnya dan memilih memalingkan wajah, Yohan menempatkan belatinya dia atas meja kemudian beralih merobek pakaiannya sendiri.

"Butuh bantuan?" Lana menawarkan sambil mengulurkan tangan tapi wajahnya masih menghadap ke arah lain.

Tanpa menyahut Yohan menyerahkan pakaiannya ke tangan Lana dan membiarkan gadis itu menariknya hingga robek membentu kain panjang yang nantinya akan Yohan ikat menutupi bagian lengan kanan atasnya yang terluka.

"Aku tidak berani melihatnya." Tutur Lana masih dengan pandangan mengarah ke lantai saat ia berusaha akan mengikatkannya kain tersebut pada lengan Yohan.

"Kau bisa melihat ke arahku, Permaisuri." Suaranya menjadi sangat lembut ketika mengatakan itu dan mengarahkan tangan Lana perlahan mengikatkan kain guna membalut lukanya.

Perlahan tapi pasti Lana melakukannya namun tidak sungguh-sungguh sambil menatap ke arah wajah pria itu, bisa-bisa seluruh wajah Lana berakhir memerah nanti.

Hanya sesekali Lana melirik, hendak menyaksikan ketampanan rupawan putra tunggal keluarga Haze. Ya, siapa yang benar-benar bisa melewatkan kesempurnaan yang biasanya Lana temukan dalam foto-foto aktor atau artis film.

Kalaupun ada yang memiliki ketampanan serupa di kehidupan sehari-hari rata-rata mereka adalah golongan pria brengsek yang hobi membuat para gadis sakit hati. Itu nyata, gambaran dari pengalaman pribadi yang sempat Lana lalui beberapa kali. Menjalin hubungan dengan orang tampan, mereka sangat ramah pada lawan jenis dengan alasan berteman, dan yah... berakhir.

"Yang Mulia, mengapa kau tidak menikah lagi?" celetuk Lana bertanya, katakanlah dia seperti menyiramkan satu dirigen bensin ke atas api kompor sehingga membuat apinya semakin menyala-nyala.

Hening.

Mungkin seharusnya Lana tak menanyakan hal itu dan mengubah suasana hati Yohan terlebih kini tatapannya berubah menjadi lebih gelap dibandingkan sedetik sebelum ia menanyakan pertanyaan tadi.

Lana's LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang