16. Secangkir Teh

84.3K 6.9K 414
                                    

"Yang Mulia..." Hestia mendatangi Yohan bersama secangkir teh buatannya sesuai dengan permintaan pria itu. "Ini teh anda, mau saya letakkan dimana?" melihat meja kerja Yohan berantakan itu sebabnya ia bertanya.

Yohan mengulurkan tangannya tanpa bicara namun matanya fokus menatap lembaran gulungan kertas yang terbuka diatas meja, ia sedang membaca laporan yang ditulis oleh masing-masing kepala daerah mengenai setoran wajib pajak perbulan mereka terhadap kerajaan.

"Ada hal lain yang anda butuhkan, Yang Mulia?" Hestia bertanya tepat setelah cangkir teh berpindah ke tangan Yohan.

"Anda terlihat kelelahan. Saya tahu beberapa teknik pijatan kepala jika anda mempersilakan." Ucapnya lagi menunggu Yohan menanggapi.

"Lakukanlah apapun." Sahut pria itu asal tak begitu memperhatikan apa yang diucap oleh Hestia sebab ia cukup sibuk untuk saat ini sampai kemudian gadis itu melangkah maju, menempatkan dirinya berdiri dibelakang kursi kebesaran Yohan lalu mulai memijat kepalanya perlahan.

Sementara itu Yohan mulai menyesap teh buatan Hestia, mencecapi rasa manis sedikit pahit di dalamnya lalu ia mendecih dan meletakkan cangkir tersebut diatas meja karena merasa buatan Hestia bukan seleranya. Tapi, setidaknya Yohan akui pijatan kepala yang diberikan gadis itu terasa lumayan dan mulai memejamkan mata.

"Siapa namamu?"

"Hestia, Hestia Avolire. Itu nama saya Yang Mulia." Hestia menjawab dengan lemah lembut, setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu sopan sehingga enak didengar.

"Kau pelayan pribadi Permaisuri?" tanya Yohan terlihat mengerutkan dahi.

"Benar, saya pelayan pribadi Permaisuri." Hestia tersenyum, ia merasa Yohan mulai memperhatikan keberadaannya sekarang.

"Apa ada hal lain yang ingin anda bicarakan dengan saya, Yang Mulia?" kata-katanya terdengar begitu manis bak madu, Yah Hestia memang selalu mengatakan kalimat yang ingin didengar lawan bicara.

"Tidak. Lanjutkan saja." Yohan menanggapi datar, matanya kembali terpejam rileks menikmati sentuhan pijatan lembut di kepalanya sambil memikirkan cara untuk menceraikan Permaisuri tapi ingin dibuat seolah-olah karena terpaksa oleh keadaan bukan karena keinginan Yohan.

Hestia mendengkus sekilas. "Anda pasti sangat kelelahan mengurus semua ini sendirian."

"Hm."

"Saya suka mendengar cerita," Hestia berucap sambil menyisiri rambut tebal Yohan dengan jemari halusnya. "Anda bisa menjadikan saya teman yang baik."

Hestia masih terus bicara karena tahu Yohan mendengarkan padahal pria itu sebenarnya sedang berada di alam lain, memikirkan banyak rencana yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Intinya semua digunakan untuk menjebak Permaisuri tapi jangan sampai Permaisuri mengetahui sifat aslinya. Begitu yang diinginkan oleh Yohan.

Dia harus terlihat sangat mencintai Permaisuri dan tersakiti saat 'terpaksa' harus menceraikan gadis itu nanti.

Itu sebabnya sikapnya terhadap Lana sejak awal tidak begitu menolak keberadaan gadis itu bahkan sampai membunuh puluhan pelayan hanya untuk menyakinkan orang sekitar kalau ia mencintai Permaisuri dan peduli padanya padahal tidak.

"Cukup." Yohan mengangkat satu tangannya meminta Hestia berhenti memijat. "Kau bisa pergi."

Hestia mengangguk, dua langkahnya maju ke depan lalu membungkuk. "Anda bisa memanggil saya kapan saja. Saya bisa melakukan segalanya termasuk menyiapkan tempat minum kesukaan anda."

Sebulan... kini tinggal dua puluh sembilan hari lagi masa hukuman yang harus Lana jalankan. Hari-hari terasa berat baginya, membantu warga sekitar tanpa fasilitas dari Kerajaan rasanya seperti berjalan diatas duri. Lelah dan menyakitkan tetapi sebagai gantinya banyak orang-orang yang mulai menaruh kepercayaan pada Lana bahkan terus terang mengungkapkan kekagumannya.

Lana's LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang