26. A Little Envious

85.8K 7.2K 309
                                    

"Yang Mulia, lepaskan saya." Lana berkata seraya berusaha membebaskan cengkraman Yohan dari sisi lengan atasnya tanpa menatap pria itu. 

"Saya sangat lelah, saya harus kembali ke kamar." Imbuhnya.

"Kau menghindariku?" tudingnya dengan tampang kesal dan tatapan dingin menusuk tajam.

"Mengapa aku harus?" balas Lana jengkel disertai decakkan.

Gigi-gigi Yohan sampai terdengar bergemeletuk saat dirinya menahan gejolak sensasi kesal luar biasa. "Pagi tadi kau bersikap baik dan mendekatiku, apa niatmu sebenarnya?"

"Aku mengajakmu sarapan." Ujar Lana sesuai kenyataan kalau seandainya Yohan mendadak lupa ingatan.

Cengkraman Yohan pada lengan bagian atas Lana mengencang sampai gadis itu meringis lalu ia berkata. "Kalau begitu ayo kita makan siang sekarang." Desisnya entah itu paksaan atau sebuah ajakan, Lana tidak mengerti apalagi saat tangannya ditarik begitu saja agar mengikuti langkah Yohan layaknya seekor kambing.

Satu ujung bibir Lana refleks terangkat, bukan membentuk senyuman melainkan ekspresi julid. "Dasar modus! Bilang saja kau ingin makan siang bersamaku, huh!"

Siang itu Lana dibawa oleh Yohan menuju paviliun istana dikarenakan cuaca lumayan panas dan tidak ada kipas atau semacamnya, Lana tahu dan sangat menyayangkan hal tersebut padahal bagus kalau ditempat ini ada pendingin udara seperti AC... mungkin.

Paviliun istana cukup sejuk karena berada ditengah taman dan pepohonan rindang bahkan di dalam bangunan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang itu terdapat berbagai jenis bunga serta satu pohon apel besar.

Tepat dibawah pohon tersebut ada sebuah meja dan sepasang kursi. Diatas meja yang cukup besar itu terdapat berbagai jenis hidangan mulai dari makanan pembuka sampai makanan penutup dengan daging kalkun panggang utuh sebagai menu utama.

Lana mengelus perutnya dengan tangan yang bebas. "Melihatnya sudah membuatku kenyang duluan." Batinnya kembali tertekan.

Seolah bisa membaca isi pikiran Lana, Yohan menembak dengan kalimat. "Aku tak ingin mendengar alasan tak masuk akal seperti mendadak kenyang darimu, Permaisuri."

"Hah!? DIA GILA!?" Lana semakin tertekan di dalam sana.

"Ya, tentu saja! Aku sangat lapar!" balasnya balik menantang Yohan sengit.

Satu senyum miring terpatri di bibir tipis merah alami milik pria itu. "Senang mendengar ambisimu, Permaisuri."

Mereka lalu duduk masing-masing berhadapan satu sama lain di kursi tersebut dan mulai makan dimulai dari menu pembuka terlebih dahulu.

Bruschetta.

Roti panggang yang diberi bawang putih dan minyak zaitun sebagai topping selai, biasanya juga ditambahkan sejenis mentega sebagai perekat.

"B-bawang!?" keduanya memekik bersamaan di dalam hati.

Untuk manusia aneh yang tidak suka makan bawang tanpa diolah jelas timbul ekspresi kepanikan sesaat di wajah keduanya namun sebisa mungkin masing-masing dari mereka terlihat biasa saja dan mengambil satu roti dari atas piring.

Perlahan Lana memasukan roti berukuran kecil itu ke dalam mulutnya langsung sekaligus agar tak perlu makan gigitan kedua, ketiga, atau seterusnya.

Hal serupa dilakukan oleh Yohan. Dia melahapnya dalam satu kali bukaan mulut yang cukup lebar seperti raksasa lapar.

Tapi kemudian ekspresi keduanya menjadi tak jauh berbeda. Mata melotot, pipi menggembung, dan wajah tertekan yang benar-benar persis sebab mereka sama-sama tidak bisa makan bawang yang belum dimasak.

Lana's LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang