36.| Bahasa Belanda

451 89 26
                                    

NAINA tersentak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

NAINA tersentak. “K-kabarku baik. Kamu sendiri?” tanyanya canggung.

“Syukurlah kalau kau baik.” Percakapan Pierre dan Naina sempat terhenti. Keduanya saling bertatapan selama tiga puluh detik. Di sebelah Naina, Airin tampak menampilkan senyum meledek.

“Kau sedang bersekolah?”

Naina mengangguk. “Tiga puluh menit lagi bel masuk.”

“Apakah aku mengganggumu?”

“Eng—”

“Nggak ganggu kok, Kapten. Tenang aja. Naina lagi gabut itu,” sahut Airin mendapatkan pelototan dari Naina. Gadis itu menunjukkan jari telunjuk dan tengah tanda damai.

“Nggak ganggu. Ada keperluan apa?” tanya Naina langsung pada intinya.

Pierre tampak menghela napas. “Sebenarnya aku ingin memberitahukan satu hal kepadamu.”

Degup jantung Naina berdetak kencang mendengar perkataan Pierre. “Duh, masa dia mau tanya alasan aku blokir nomornya? Aku harus jawab apa?”

“Kemarin kau mungkin mengkhawatirkan sesuatu sampai-sampai semarah itu kepadaku. Aku yang salah karena tidak menyadari itu sebelumnya. Tetapi, sekarang kau jangan khawatir. Aku sudah mengurus segalanya. Kayla, dia tidak akan mengganggumu lagi.” Raut wajah Pierre berubah serius saat mengatakan itu.

“Seriusan?” tanya Naina antusias secara tidak sadar. “Maaf, maaf,” sambungnya disertai berdehem.

Pierre tersenyum. Ia mengangguk. “Aku tidak bercanda. Kuharap kau bisa memaklumi tingkahnya, dia memang seperti itu. Anggap perkataannya sebagai angin lalu. Blokir nomornya jika perlu. Aku sama sekali tidak keberatan atas itu.”

Naina menelan salivanya dengan susah payah. “Blokir?” tanyanya tanpa sadar.

“Iya, sama seperti saat kau memblokir nomorku.”

“Anjir langsung diulti. Hayoloh, Nai.” Airin terkekeh kecil. Ia gencar sekali menjahili sahabatnya.

“Buka blokirnya dong Naina. Mas Pierre uring-uringan dari kemarin. Dia bahkan sampai nggak bisa mikir jernih gara-gara nomornya diblokir sama kamu.”

Wajah Rabella tiba-tiba muncul di layar gawai. Di sebelahnya tampak Pierre menatapnya tajam. Alih-alih meminta maaf, Rabella justru tertawa kecil.

Vertel geen onzin. Aku tidak seperti itu,” ujar Pierre dengan nada kesal. (Jangan bicara omong kosong)

“Mana ada omong kosong? Ik heb het over feiten,” protes Rabella. (Aku hanya bicara fakta)

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang