39.| Act of Service

410 80 32
                                    

PIERRE tiba di depan sebuah rumah yang disulap menjadi rumah makan—tak jauh dari Kolam Segaran. Laki-laki itu tampak berbincang akrab dengan pemilik rumah makan yang tidak lain adalah temannya saat SMA. Sesuai permintaan Pierre sebelum pergi dari batalion, Sagara—pemilik rumah makan—sudah menyediakan tempat khusus untuk temannya. Tidak hanya itu, rumah makan yang biasanya ramai pengunjung kini tidak terlihat satu pun tanda tempat sudah dipesan oleh Pierre.

“Bagaimana persiapannya?”

“Aku sudah meminta pegawaiku untuk menyiapkan segalanya. Katanya, mereka butuh waktu dua sampai tiga jam. Tidak masalah 'kan?”

Pierre mengangguk. “Tidak masalah.”

“Tapi tumben sekali kau datang setelah sekian lama dan tiba-tiba ingin menyiapkan tempat spesial untuk seseorang? Kau balikan lagi sama Kayla?”

Pierre menggeleng. “Tidak. Aku sudah lama merelakan dia dengan pilihannya.”

Sagara mengangguk-angguk. “Aku turut prihatin atas apa yang Kayla perbuat. Semoga seseorang yang bersamamu kali ini adalah orang yang tepat.” Ia menepuk pundak Pierre.

“Terima kasih.”

“Tidak masalah.”

Pierre tersenyum. “Oh, iya, mengenai bunganya.” Pemuda itu berjalan cepat mengambil paperbag yang tergantung di stang motor. “Di mana aku harus meletakkan ini? Aku ingin memberikan bunga untuknya saat kami melihat senja di Segaran.”

Sagara memeriksa bunga di dalam paperbag Pierre. Ia terlihat terkejut mengetahui isinya. “Kau membeli buket bunga tulip asli? Di Nabastala Florist?”

Pierre mengangguk. “Ada masalah?”

Teman Pierre itu menggeleng kaku. “T-tidak, hanya saja dari yang aku dengar, semua bunga di Nabastala Florist itu harganya tidak biasa. Aku dulu pernah mengajak istriku untuk ke tempat itu, tetapi akhirnya kami hanya membeli buket bunga yang kecil. Itu pun bunga artificial,” jelasnya.

Pierre tertegun.

“Tidak kusangka, kau ternyata benar-benar berupaya sebaik mungkin untuk dia. Aku yakin setelah ini, dia pasti akan menerima perasaanmu untuknya.”

“Semoga saja,” gumam Pierre.

“Aku akan menyimpan bunga ini di dalam. Nanti bila waktunya tiba, aku akan memberikannya kepadamu saat sudah si Segaran. Cuaca hari ini begitu terik. Akan layu jika bunga ini kita simpan di Segaran saat ini juga,” tutur Sagara diangguki Pierre.

“Aku percayakan segalanya kepadamu,” ungkap Pierre direspons dengan acungan jempol Sagara. “Kalau seperti itu aku akan kembali ke batalion. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sebelum kemari.”

Sagara mengangguk. “Aku mengerti. Kau juga harus bersiap 'kan untuk menemui calon Persitmu?” Ia tersenyum jahil.

Pierre hanya tersenyum tipis. Ia kembali mengenakan helmnya dan menaiki motor Ducati kesayangannya. “Aku permisi.”

Sagara mengatupkan jari telunjuk dan jempolnya. Ia menatap kepergian Pierre dengan senyum kelegaan. “Syukurlah kalau dia sudah menemukan seseorang yang tepat.”

•••

“Naina, keluar gih. Ada lapis legit favorit kamu ini. Ibu tadi dikasih sama istrinya Pak Lingga.”

Naina mendongakkan kepalanya. Dengan gontai ia bangkit dari ranjang. Dibukanya pintu kamar yang langsung menampilkan jam dinding menunjuk pukul dua siang.

“Udah dua jam ternyata aku tidur,” gumam gadis itu. Ia kini melangkahkan kaki menuju ruang keluarga. Diambilnya remote control televisi yang tergeletak di meja, tidak jauh dari letak sepiring lapis legit.

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang