43.| Rencana Rahasia Pierre

378 67 13
                                    

"PERSIT itu harusnya tenaga medis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"PERSIT itu harusnya tenaga medis. Bukannya orang yang belum lulus sekolah kayak kamu."

Naina tersentak. Ia yang sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling justru beralih menatap wanita berseragam hijau di hadapannya. Gadis itu sedikit bingung, entah bagaimana caranya ia bisa berada di tempat—sepertinya—asrama tentara.

"Kamu lihat para Persit itu? Mereka semua sarjana kedokteran. Ada yang lulusan sekolah kesehatan, kebidanan atau keperawatan."

Naina menelan ludah dengan susah payah. Netranya tertuju memperhatikan seorang berseragam Persit yang sibuk bergurau dengan suami dan anaknya.

"Memang udah takdir tentara yang keras dan tegas punya istri nakes yang lembut dan penyayang."

Naina terlihat tidak setuju. "Kenapa harus tenaga kesehatan? Bukannya tenaga pendidik seperti guru juga punya kepribadian yang lemah lembut? Malahan mereka diterjunkan langsung buat mendidik dan mengajar anak-anak."

Wanita paruh baya di hadapan Naina itu tersenyum. "Tapi bukan guru yang bisa mengobati luka prajurit setelah kembali dari medan perang. Orang yang bisa mengobati mereka hanya tenaga kesehatan."

Naina bungkam.

"Pikirkan baik-baik perkataanku. Seorang Persit itu harus memiliki mental yang kuat. Dia harus bisa melawan semua ketakutannya bahkan setiap risiko terburuk sekalipun. Memang kamu siap kalau ditinggal suami dinas ketika sedang tidak baik-baik saja?"

Naina tidak menjawab. Wanita paruh baya di hadapannya menepuk pundak Naina pelan.

"Kalau kamu masih jadi katak dalam tempurung, aku bisa menjamin seratus persen kamu tidak akan pernah menjadi seorang Persit Kartika Chandra Kirana."

Wanita itu menatap Naina dalam. "Pikirkan ini, Naina."

"Nai bangun Nai. Waktu ujiannya mau habis ini."

•••

Bel tanda pulang berbunyi, tetapi Naina masih menulis catatan pembelajaran Fisika. Setelah kejadian tertidur di kelas saat ulangan harian Kimia, Naina mengutuk dirinya habis-habisan.  Beruntung saat undian, ia mendapatkan bangku paling belakang di bawah pendingin ruangan. Meski demikian, ia masih menahan malu dari Airin yang sedari tadi tidak berhenti meledeknya.

"Udah jam pulang masih aja mencatat. Lanjutin di rumah aja kali. Lagian tadi udah difoto 'kan sama anak-anak?" Airin bertanya usai mengenakan sweater rajut merah.

"Kamu yakin mau catat materi di rumah? Palingan foto-foto papan cuma menuhin galeri. Nggak bakalan dicatat," ceplos Naina masih fokus menyalin tulisan di papan.

"Kalau kamu buru-buru, duluan aja. Kaiden pasti udah nungguin," sambung Naina lagi.

Airin membulatkan matanya. Ia melihat ke sana kemari. "Kamu kalau ngomong duh, nggak bisa dikontrol. Untung nggak ada siapa-siapa di sini. Coba kalau ada? Dimarahin Kaiden aku kalau sampai berita itu kesebar."

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang