45.| Sang Kusuma Bangsa

363 58 9
                                    

PIERRE dan Naina tiba di Malang pukul lima pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PIERRE dan Naina tiba di Malang pukul lima pagi. Keduanya lantas menuruni bus untuk menaiki mobil yang disewa Barga. Tidak berselang lama mobil hitam itu melaju dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit hingga mobil tersebut berhenti di Pantai Ngudel.

Kedatangan keduanya disambut oleh pepohonan cemara yang menyejukkan. Baskara yang mulai terbit di ufuk Timur menambah keindahan pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia ini.

“Kau sudah membawa bukunya?”

Naina yang semula asyik mengagumi keindahan alam Indonesia sontak menoleh. “Buku?” Dahi gadis itu mengerut heran.

“Buku biografinya. Kau sudah membawanya?”

Netra Naina membulat. Ia mengangguk-angguk. Tangan gadis itu terulur mengeluarkan buku bersampul merah dari tas selempang. “Ini 'kan?”

Pierre tersenyum. Pemuda itu kini duduk di atas hamparan pasir pantai. Menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya, ia memberi isyarat Naina untuk duduk.

“Kenapa aku harus bawa buku ini? Kamu mau pinjam?” tanya Naina setelah duduk di sebelah Pierre.

Pierre menggeleng. Pandangannya kini tertuju pada ombak pantai yang saling berkejaran.

Naina tersentak. “Kalau nggak mau pinjam, terus apa?”

Pierre menatap Naina intens. “Kau harus membacanya, hingga selesai. Hari ini juga.”

Naina menelan salivanya dengan susah payah. “Aku ... harus baca ini?”

Kekasih Naina itu tersenyum. “Iya, Naina Arzia. Kau harus menamatkan buku itu hari ini juga.”

Ekspresi wajah Naina menjadi murung. Gadis itu tampak tidak senang dengan perkataan Pierre. Ia bahkan terlihat enggan membuka buku yang dibawanya.

“Mengapa masih diam? Aku ingin kau membaca buku itu sekarang juga.” Nada bicara Pierre menjadi penuh penegasan. Meski demikian, Naina tetap tidak bergeming. Gadis itu justru melayangkan pandangan ke arah laut.

“Naina,” panggil Pierre dengan nada rendah.

Mendengar panggilan dari Pierre yang menyiratkan perintah, membuat netra Naina berkaca-kaca. Gadis itu mulai tertunduk sebelum meneteskan air mata.

“Mengapa kau malah menangis?” tanya Pierre sedikit melunak.

Naina menggelengkan kepala. “Aku nggak bisa ....”

“Aku nggak bisa. Sekeras apapun aku coba, tetap nggak akan bisa namatin buku itu. Ada rasa sakit yang aku rasa setiap kali pengen baca bab tujuh sampai akhir. Aku nggak siap ngerasain gimana penderitaan Kapten Tendean hari itu. Aku nggak bisa, Pierre.”

Hati Pierre mencelos mendengar penuturan Naina. Pemuda itu mulai membawa Naina dalam dekapannya.

“Aku pengen banget namatin buku itu sama kayak buku sejarah lainnya, tapi setiap kali aku coba, ada rasa sesak di dada. Aku nggak bisa bayangin gimana kondisi Kapten Tendean tepat di tanggal 30 September 1965.”

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang