52.| Na Drie Weken

223 40 25
                                    

MEMASUKI minggu terakhir sejak Pierre menjalani pelatihan, Pierre masih rutin bertukar kabar dengan Naina. Saat ini pun, sembari bersiap untuk menghadiri acara pernikahan Rabella, Naina masih menerima panggilan video dari Pierre.

“Lima menit lagi aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya. Saat sampai di Bandara Juanda nanti, aku akan mengabarimu. Kira-kira hanya memerlukan waktu satu jam tiga puluh lima menit. Pukul lima lewat lima menit aku akan tiba di Bandara Juanda.”

“Iya, kamu hati-hati selama di perjalanan nanti. Jangan lupa baca doa. Aku, ayah sama ibu bakal jemput kamu di bandara. Setelah itu kita bisa ke rumah kamu pakai taksi online. Ayah sudah memesankannya untuk kita,” jelas Naina seraya mengambil tas selempang yang menggantung di lemari.

“Seharusnya ayah tidak perlu repot-repot seperti itu. Aku merasa tidak enak.” Ekspresi wajah Pierre sedikit berubah. Naina dapat melihatnya di layar gawai.

Naina menggeleng kecil. “Nggak papa. Kamu udah berkorban banyak buat keluargaku. Sekarang gantian.”

“Tetap saja, Nai.”

“Udah, Pierre, nggak papa. Sekarang, mendingan kamu matikan hapemu atau gunakan mode pesawat. Nggak boleh main hape saat penerbangan. Itu akan mengganggu navigasi.”

Pierre terlihat menghela napas. “Baiklah. Kalau seperti itu, aku akhiri dulu panggilannya. Akan aku kabari ketika tiba di Surabaya. Kau juga berhati-hatilah saat perjalanan ke bandara nanti. Aku mencintaimu.”

Pipi Naina bersemu merah mendengar kalimat terakhir Pierre. “Dih, nggak nyambung. But, ik houd ook van je, Pierre.”

Tepat setelah Naina mengungkapkan kalimat itu, Pierre terlihat tersenyum sebelum sambungan video terputus. Naina yang sudah mengenakan kebaya berwarna biru dongker lengkap dengan rok batik dengan nuansa hitam dan cokelat pun keluar kamar.

“Cantiknya anak ibu. Ini kebaya yang dikirim Pierre tiga hari lalu?” Mina bertanya setelah Naina sampai di ruang tamu.

Naina mengangguk. “Nggih, Bu, ini dari Pierre.”

Mina tersenyum. “Pierre emang tau apa yang bagus buat kamu, Nai.”

Barga bangkit dari tempat duduknya. “Udah siap? Kita berangkat sekarang. Antisipasi kalau macet,” ujarnya.

Mina mengangguk. Wanita itu kini menatap dua adik Naina. “Fira, Ilbar, cepat masuk ke mobil,” pintanya sedikit tegas.

Dua adik Naina yang tadinya sibuk bermain gawai pun mengantongi kembali benda pipih itu. Dengan langkah gontai, keduanya mulai keluar rumah, disusul Naina dan Mina yang mengunci pintu.

“Pierre bilang sampai di bandara pukul berapa?”

“Katanya sih jam lima lebih lima,” jawab Naina seadanya.

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang