49.| Perihal Keluarga Allie

295 48 21
                                    

“SUGENG rawuh ing Omah Retro

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUGENG rawuh ing Omah Retro. Apakah Anda benar Mas Pierre dan Mbak Naina dari Mojokerto?” Seorang pramusaji laki-laki tampak menyambut kedatangan Pierre dan Naina di depan pintu masuk sebuah restoran dengan nuansa kolonial. 

“Benar, saya Pierre dan dia Naina.”

Pramusaji itu tersenyum. “Baiklah, silakan menduduki meja nomor sembilan belas, kami sudah siapkan menu spesial untuk Mas dan Mbak-nya,” ujarnya dengan ramah.

“Terima kasih,” tutur Naina seraya memasuki rumah makan beriringan dengan Pierre.

“Dua chocolate waffles with strawberries and cream dan dua choco milkshake with ice cream siap disantap oleh Mas dan Mbak-nya. Silakan menikmati,” ujar pramusaji itu lagi setelah Naina dan Pierre duduk di meja nomor sembilan belas.

Dankuwel,” ujar Pierre tanpa sadar.

Pramusaji itu tampak bingung.

“Maksudnya, terima kasih,” sahut Naina.

Pramusaji itu tersenyum seraya mengangguk. “Saya permisi.” Ia meninggalkan Naina dan Pierre.

Naina menatap Pierre. “Bisa-bisanya kamu ngomong pakai Bahasa Belanda.” Ia terkekeh.

Pierre tersenyum kikuk. “Aku hanya terbawa suasana. Dahulu saat nenek masih ada dan kami berlibur ke rumah kakek di Belanda, nenek selalu memasak makanan seperti ini. Yah, walaupun lebih sering memasak makanan Indonesia,” jelasnya sembari menggerakkan garpu dan pisau untuk memotong waffle.

“Jadi, kamu emang blasteran Indonesia-Belanda?” tanya Naina di sela-sela memotong waffle-nya.

Pierre menggeleng.

Dahi Naina mengernyit heran. “Lah, terus?”

Pemuda di hadapannya itu menelan waffle yang sudah dikunyah. “Kakekku dari pihak papi memang lahir di Belanda, tetapi memiliki darah Perancis. Saat kakek menginjak remaja, kakek pindah ke Belanda dan bertemu dengan nenek yang kebetulan sedang belajar di sekolah Belanda. Nenekku itu orang Jawa asli.”

Naina mengangguk-angguk tanda mengerti. “Lalu, mami kamu?”

“Mami orang Jawa asli, tepatnya dari Surabaya.” Pierre menjeda perkataannya. “Kalau bicara mengenai pertemuan mami dan papi, rasanya sangat luar biasa. Bagaimana tidak, papi yang waktu itu menjadi dokter sekaligus dosen di Universitas Hayam Wuruk bertemu dengan mami yang kebetulan kuliah farmasi. Papi juga menjadi pembimbing mami saat skripsi, alhasil papi dan mami semakin dekat dan memutuskan untuk menikah tahun 1990.”

Naina tampak terperangah. “Jadi ceritanya, my lecturer is my husband?”

Pierre terkekeh. “Bisa dibilang begitu,” tuturnya.

“Terus mengenai lukisan di rumahmu, nenek kamu buat ketika di Belanda atau gimana?”

“Ah, lukisan itu ... ” Pierre menyeruput milkshake miliknya. “Sebenarnya lukisan itu dibuat oleh nenek dari pihak mami. Seperti yang pernah aku jelaskan kepadamu dahulu, kakekku atau ayah dari mami adalah seorang pejuang. Sebagai seorang pejuang, kakek yang masih berumur dua puluh tahun turut serta dalam Pertempuran 10 November dan membuat namanya dikenang setelah pertempuran itu termasuk nenek yang mengabadikan potret kakek dalam lukisannya.”

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang