06.| Lucid Dream

644 152 7
                                    

Jangan lupa follow
@utiniverse
@historiaddict
@ikbenwhdp

NAINA mengerjapkan mata beberapa kali. Ia terkesiap begitu mendengar suara musik keroncong salah satu lagu romantis ciptaan Ismail Marzuki.

Perlahan gadis itu mulai melangkah ke sebelah utara ruang yang mirip kamar asrama. Mendekati sebuah meja dengan gramophone yang terkesan antik, tapi masih berfungsi dengan baik.

Engkau gemilang, malam cemerlang
Bagai bintang timur yang sedang mengembang
Tak jemu-jemu mata memandang
Daku namakan engkau Juwita Malam

Tangan Naina terulur hendak menyentuh piringan hitam pada gramophone. Namun, belum sempat ia menjalankan niatnya, sebuah tepisan terlebih dahulu ia dapatkan.

"Apa yang kau lakukan? Kau bisa merusaknya."

Naina sontak menoleh. Keterkejutan tercetak jelas di wajahnya mengetahui si pemilik suara. "K-kapten P-pierre?"

Pemuda di hadapannya itu tidak menggubris. Masih memasang wajah masam. Ia mematikan gramophone. "Kalau kau tidak menyukai musiknya jangan asal memegang piringan hitam ini untuk merusaknya. Kau bisa bilang padaku dan aku akan mematikannya."

Naina tersentak. Ia tidak bisa berkata-kata. Otaknya sibuk mencerna apa yang tengah terjadi.

"Mengapa kau pandangi aku seperti itu? Terkesima dengan ketampananku?" ujar pemuda itu asal.

Netra Naina tiba-tiba berkaca-kaca diikuti isak tangis yang keluar dari mulutnya. Dengan tiba-tiba gadis itu memeluk pemuda di hadapannya membuat sang empu terkejut bukan main.

"Kapten Pierre Tendean. Kenapa harus Kapten yang ditangkap orang-orang biadab itu! Aku nggak bisa bayangin gimana rasanya di posisi Bu Rukmini. Padahal kalian mau menikah sebentar lagi," ujarnya dengan berlinang air mata.

Alis pemuda itu bertautan. "Kapten Pierre Tendean katanya?" Ia menggeleng kecil. "Hei, Nona. Aku bukan Kapten Tendean asal kau tau."

"Jangan bohong! Kamu emang Kapten Tendean! Wajahmu bahkan mirip sama foto di sampul buku biografiku."

Pemuda itu mendecih. "Nona, coba kau pikirkan. Apakah mungkin Kapten Tendean mengenakan baju loreng ini sementara motifnya baru diadopsi dari M81 Woodland milik Angkatan Darat AS tahun 1981?"

Mendengar penuturan pemuda itu, Naina sontak melepaskan pelukannya. Gadis itu membulatkan mata begitu melihat seragam yang dikenakan pemuda di hadapannya. Benar saja , laki-laki itu tampak gagah dengan seragam kebesaran khas TNI Angkatan Darat saat ini. "Aku salah orang dong?!" tanyanya tidak santai.

"Terus kalau bukan Kapten Tendean, kamu siapa? Kenapa juga kamu mirip banget sama Kapten Tendean?"

"Aku-"

"Naina, bangun! Kamu bisa ketinggalan bus!"

•••

Sepanjang perjalanan menuju Museum Sasmitaloka Jenderal Ahmad Yani, hanya keheningan yang tercipta di antara Naina dan Airin. Di benaknya, Naina masih memikirkan mimpi yang ia alami ketika berada di Museum Pancasila Sakti. Pandangannya tertuju pada jalanan ibukota yang mulai dipadati pengendara.

"Nai."

Naina menoleh. Ia melayangkan tatapan bertanya pada Airin.

Airin tampak ragu. "Itu ... aku mau tanya. Tadi pas di museum, kamu mimpi apa?"

Naina terdiam. Ia menggeleng kecil. "Nggak tau juga aku. Mimpinya aneh. Seumur-umur baru kali ini aku alami mimpi kayak gitu," ujarnya terus terang.

Rindu Lukisan ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang