33. KEHILANGAN MIMPI

34 15 61
                                    

[Kamu hanya satu kehilangan mimpimu untuk menemukan banyak mimpimu yang lain.]

-Alvin Syahreza Maulana

****

“Sembarangan lo kalo ngomong!” katanya berlari sembari menarik ujung jilbab putih Adela.

Adela memekik sebelum akhirnya berbalik badan meraih tangan gadis itu dan memutarnya.

Ssshh .... Sakit.”

“Apa-apaan lo narik jilbab gue?” tanya Adela menghempas kuat tangan gadis itu.

“Apa maksud lo bilang ke Alvin kalo gue yang mindahin botol minum lo?”

“Oh .... Jadi beneran, lo yang mindahin botol minum gue kemarin? Pantes gue tanding gak konsen—”

Bangsat! Gak ada ya gue mindahin botol minum lo yang gak seberapa itu. Gue aja gak dateng di acara pencak silat kalian!”

“Oh yasudah, kalo emang enggak, kenapa harus ngegas? Santai aja kali, goyang banget kayak stang becak.”

“Gue gak suka ya dituduh-tuduh!”

“Gue gak nuduh, tapi fakta kalo itu lo kan?!” Adela menarik kasar rambut gadis itu. “Ngaku gak lo, jan—”

Pugh!

Sebelah pundak Adela ditonjok kasar oleh Alvin. Laki-laki itu dengan cepat melepaskan tangan Adela dari rambut pacarnya itu.

Aagghhh....” Gadis itu memegang pundaknya yang terasa sakit. “Jahat banget lo, Vin.”

“Dengar ya, Del.” Laki-laki itu mendekati Adela seraya menunjuk wajah gadis itu. “Lo sakitin dia, lo berhadapan dengan gue, ngerti?”

Laki-laki itu menarik tangan pacarnya untuk pergi dari koridor itu.

****

“Bonekanya lucu banget sih,” kata Rani yang duduk di bangku minimalis samping lapangan basket itu.

Gadis itu duduk dengan tenang ditemani dengan sepoi-sepoi angin yang kencang. Dua temannya yang selalu ada, kini mereka sibuk.

Adela yang sibuk latihan untuk besok grandfinal silatnya dan Nasya yang tidak masuk karena izin ada acara keluarga. Kini gadis itu tersenyum sendu menatap boneka itu sendirian.

“Gue masih penasaran, siapa yang ngasih boneka ini ya?”

Lima menit berlalu membuat gadis itu memeluk bonekanya. Gadis itu sedikit menoleh ke samping sebelum akhirnya matanya melotot kaget.

“Rachel? Sejak kapan lo di sini?”

“Barusan gue di sini.” Laki-laki itu berjalan mendekatinya. “Boleh gue duduk?”

Gadis itu mengangguk pelan. “Boleh.”

“Gue minta maaf soal kemarin. Gue kepalang emosi, Ran. Gue gak sengaja marahin lo di depan umum.”

Hm....” Gadis itu berpikir sejenak.

“Maafin gue kan?”

“Gak tau. Soalnya kalo diingat-ingat lagi, guenya sedih, kesal, malu.”

“Yaudah, jangan diingat. Tapi lo maafin gue kan?” Rani menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk.

“Iya, gue maafin.”

“Terima kasih, cantik!” ujar Rachel menatap dalam mata gadis itu.

Rani yang tidak tau harus apa, kini ia memalingkan wajahnya ke depan menahan saltingnya itu. Lama terdiam, sebelum akhirnya kening Rachel berkerut dengan jelas ketika melihat pipi gadis itu.

FALLING IN LOVE [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang