Chapter 3 - Bimbang

853 50 0
                                    

Shabrina duduk di kursi meja belajar yang ada di kamar dan menyandarkan punggung sebentar. Semenjak kejadian dia melihat Ridho di layar televisi tadi pikirannya menjadi kacau balau. Jujur, Shabrina dulu sempat memiliki rasa yang lebih dari sekedar teman pada Ridho. Ya bagaimana tidak, dia adalah orang pertama yang bertahan berteman dengan Shabrina dengan segala kesibukannya. Ridho memperlakukan Shabrina dengan sangat baik. Tidak jarang juga Ridho dengan sukarela menemani Shabrina melalui telepon saat mengerjakan tugas mata kuliah. Sampai akhirnya Shabrina dan Ridho lost contact ketika Shabrina masuk ke semester 5 dimana tugas, ujian blok, praktikum bahkan OSCE mulai berbondong-bondong menyerangnya. Ridho juga mulai fokus mengejar kariernya di dunia sepakbola. Ridho mulai rajin ikut turnamen-turnamen yang membuat dia harus mengikuti karantina. Karena hal-hal itu, pelan-pelan mereka semakin menjauh. Sejak saat itu sampai sekarang Shabrina sama sekali tidak mendapatkan informasi tentang Ridho. Bahkan dia sempat lupa pernah mengenal seseorang yang bernama Ridho. Rendy juga tidak pernah membahas hal itu lagi semenjak putus dari Zela.

Ingatan tentang Ridho membuat hati Shabrina menghangat sekaligus tersayat secara bersamaan. Fokusnya hilang. Shabrina bertanya-tanya dalam dirinya sendiri kenapa dia harus hilang fokus, seolah-olah Ridho benar-benar berada di hadapanya sekarang, lebay sekali. Padahal Shabrina juga tidak akan pernah bisa menjangkau Ridho lagi. Terlalu jauh jarak untuknya dan Ridho bisa kembali berjumpa. Hampir tidak mungkin Shabrina bisa bertatap muka dengan Ridho yang sekarang sudah menjadi pemain sepakbola profesional juga terkenal. Perasaan yang sempat Shabrina pendam pada Ridho kembali muncul. Perasaan yang harus ia pendam karena tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Shabrina menghembuskan nafas kasar. Hatinya tidak tenang. Shabrina merasa harus menghilangkan perasaan ini lagi, bagaimanapun caranya. Dia harus kembali ke realita kehidupannya yang sesungguhnya, yang sudah tidak ada Ridho lagi didalamnya

"Mbak" panggil Bibi dari luar kamar

Shabrina mendekati pintu dan membukanya

"Iya, Bi?"
"Ditimbali Bapak mbak" kata Bibi (Dipanggil Bapak mbak)
"Papa dimana?"
"Di ruang kerja, mbak" jawab Bibi

Shabrina berjalan menuju ruang baca Papa. Mengetuk pintu dan Papa menyuruhnya masuk kesana. Shabrina duduk di sofa dan Papanya duduk di meja kerja di depan laptop

"Kamu berapa lama lagi internshipnya?" tanya Papa langsung pada intinya
"Bulan depan, Pa. Sekarang tinggal nyusun laporannya aja"
"Kalo udah lulus langsung bikin SIP di klinik Papa. Kuota dokter umum masih ada 3. Kamu bisa isi salah satunya. Biar belajar sebelum pegang klinik sendiri besok" kata Papa yang memang dingin dan tegas
"Iya, Pa" Shabrina asal menjawab karena tidak ada pilihan jawaban yang lain

Shabrina keluar dari ruangan Papa dan kembali ke kamar. Hidupnya memang sudah diatur sedemikian rupa oleh Papa sehingga jalannya memang terbilang mulus. Shabrina biasa menyebutnya previlege meskipun tidak bisa dipungkiri, dia harus terseok-seok belajar di jurusan Pendidikan Dokter tapi jalannya mulus berkat bantuan Papa dan Mama. Bukan bantuan dalam arti negatif ya. Sayangnya pikiran tentang Ridho justru terus menghantui Shabrina. Sepertinya kewarasannya berkurang semenjak kejadian beberapa hari yang lalu. Shabrina segera masuk ke kamar mandi, berganti baju untuk bersiap tidur

** ** ** ** **

Hari ini hari terakhir internship. Laporan dan ujian internship sudah Shabrina laksanakan. Alhamdulillah lulus dengan baik. Dia dan 2 temannya yang sama-sama internship disini akan berpamitan

"Shabrina" panggil dokter Usman, Kepala Puskesmas Wonokromo
"Iya dok, ada yang bisa saya bantu?"
"Ada yang mau saya bicarakan, ke ruangan saya sebentar bisa?"
"Bisa, Dok" jawabnya

Shabrina mengekor dokter Usman dan beliau mempersilahkan Shabrina duduk di sofa ruangannya

"Jadi gini Shabrina" kata dokter Usman "Saya baru saja di telepon kolega saya yang ada di Jakarta. Dia butuh dokter umum yang cerdas, cekatan dan lincah. Ketika kolega saya menyebutkan hal itu, pikiran saya langsung tertuju pada Shabrina. Dia butuh dokter untuk membantunya. Saya sudah merekomendasikan kamu kepada dia. Dia setuju, sekarang tinggal kamu yang menentukan keputusannya"

Monofonir (Rizky Ridho Ramadhani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang