Chapter 82 : Runtuh

342 37 23
                                    

Shabrina sibuk menatap jalanan yang ia lewati. Sepertinya kali ini akan jadi kali terakhir ia merasakan atmosfer kota Surabaya, kota dimana dia lahir dan dibesarkan. Banyak kenangan yang ia punya di kota ini. Memang jauh lebih banyak kenangan yang menyakitkan daripada kenangan manis. Tapi bagaimanapun juga, dia mencintai kota ini.

Dan akhirnya, meskipun dengan terpaksa, ia akan pergi jauh, besar kemungkinan baginya untuk tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di kota ini. Setelah 30 menit perjalanan, dia sudah sampai di tempat tujuan. Ia bisa melihat Ridho berdiri di ujung gedung sambil melihat HPnya. Ridho berhenti menatap layar ponselnya begitu ada taksi berhenti tepat di depannya. Shabrina memberikan beberapa lembar uang tunai kemudian turun dan sopirnya segera menurunkan koper dari bagasi. Ridho kaget melihat koper besar Shabrina disana. Begitu taksi sudah pergi Shabrina segera menghambur ke pelukan Ridho. Dia menangis sekencang-kencangnya disana. Ridho yang tidak mengetahui apa-apa kaget dan bingung. Namun akhirnya ia memutuskan untuk membalas pelukan Shabrina sambil sesekali mengelus punggung Shabrina. Cukup lama sampai tangis Shabrina mulai sedikit mereda

"Dho, jangan tinggalin aku" kata Shabrina pelan
"Aku gak kemana-mana"
"Sekarang aku cuma punya kamu" kata Shabrina
"Aku selamanya sama kamu sayang" jawab Ridho mencoba menenangkan, sambil mengusap punggung Shabrina yang masih berada dalam pelukannya
"Aku diusir sama Papa" kata Shabrina

Ridho kaget dan segera melepas pelukannya. Menatap Shabrina tak percaya. Diusir? Bagaimana bisa? Begitu pikir Ridho

"Aku diusir setelah minta izin mau menikah" jawab Shabrina dengan derai air mata
"Kita ke mobil dulu ya" jawab Ridho kemudian merangkul Shabrina dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menarik koper Shabrina

"Ada apa sayang?" Tanya Ridho pelan sambil mengusap kepala Shabrina penuh kelembutan begitu masuk ke dalam mobil
"Aku diusir dari rumah sama Papa"
"Kok bisa?"
"Karena aku minta nikah sama kamu. Aku belum sempat menyebut namamu. Aku gakmau nyebut namamu dulu karena aku tuh pengen Papa mengizinkan aku nikah karena aku sendiri, bukan karena siapa pasanganku. Bener aja kan, baru bilang pengen nikah tiba-tiba udah disuruh nikah sama anak temennya Papa. Aku menolak dijodohkan, orang aku udah punya pacar. Tapi Papa gak mau, katanya aku cuma boleh nikah sama orang itu. Kalo gak sama orang itu aku gak boleh nikah. Aku marah dan aku keluar dari ruang kerja Papa. Trus Papa bilang katanya kalo aku keluar dari ruangan itu aku diusir dari rumah, dan gak bakalan dianggep anak lagi. Ya buat apa aku disana kan. Emang dipikir enak apa tinggal di rumah itu? Ya aku pergi aja" Shabrina menceritakan itu dengan isak tangis

Ridho menghela nafas. Shabrina pasti penuh emosi, begitupun Papanya. Sebenarnya mereka berdua ini sama. Sama-sama memiliki ego yang sangat tinggi

"Aku mau balik ke Jakarta"
"Sekarang?"
"Iya sekarang. Aku mau berangkat ke bandara habis nemuin kamu ini"

Ridho diam dan tidak menjawab. Menyusun dan menata kalimat agar tidak menyakiti Shabrina

"Shabrina sayang" panggil Ridho "Jangan gegabah. Emosinya diturunin dulu. Jangan memutuskan sesuatu dalam keadaan kamu masih emosi kaya gini"
"Aku udah buntu harus gimana"
"Kan masih ada aku. Aku gak kemana-mana. Akan selalu ada di samping Shabrina. Sampai kapanpun. Mau dengerin omonganku kan?" Tanya Ridho pelan, meminta persetujuan Shabrina dan ia mengangguk pelan "Sementara kamu tinggal di hotel dulu ya. Besok pulang ke Jakarta sama aku. Aku gakmau kamu sendirian di Jakarta. Aku gakmau kamu mikirin aneh-aneh disana. Aku maunya kamu tenang dulu disini"
"Surabaya tuh terlalu menyakitkan buat aku, Dho"
"Kan ada aku. Aku akan mengubah kenangan menyakitkan kamu tentang Surabaya menjadi kenangan paling indah. Percaya sama aku. Kita ke hotel dulu ya"

Ridho segera menghidupkan mobilnya dan membawa Shabrina ke hotel di kawasan dekat rumahnya. Supaya mudah mengawasi Shabrina

"Padahal butuh waktu yang sangat lama sampai aku berani memutuskan untuk menikah. Giliran udah siap malah kaya gini. Capek banget rasanya" kata Shabrina sambil melihat ke arah luar jendela mobil

Ridho menggenggam tangan Shabrina erat. Dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Padahal Ridho sudah menunggu-nunggu saat-saat Shabrina bersedia menikah dengannya, tapi justru harus jadi seperti ini. Tapi tak apa, mungkin ini adalah ujian menuju pernikahan. Pernikahan kan hal yang sakral, jadi pasti jalannya tidak semudah itu

"Ini belum berakhir, Na" kata Ridho "Ada yang masih bisa diperjuangkan. Kita gak boleh menyerah disini"

Shabrina diam dan tidak menjawab perkataan Ridho

"Mati aja kali ya"
"Astaghfirullah. Istighfar sayang" kata Ridho kemudian segera menepikan mobilnya

Tiba-tiba Shabrina menangis lagi. Ridho segera membawa Shabrina ke dalam pelukannya. Tepat saat lagu Runtuh dari Fiersa Besari dan Feby Putri diputar di mobil

"Aku capek. Capek banget. Gak kuat, Dho rasanya. Pengen mati aja. Biar gak usah mikirin hal-hal kaya gini lagi"
"Istighfar. Gak boleh bilang gitu. Istighfar sayang" kata Ridho pelan sambil mengusap lembut kepala Shabrina

Shabrina menurut dan beristighfar banyak-banyak. Mungkin jika saat ini tidak bersama Ridho, Shabrina pasti sudah mengakhiri semuanya. Menemui Ridho saat ini adalah pilihan yang paling tepat

"Dunia ini belum berakhir sayang. Kamu masih punya aku. Aku gak kemana-mana. Aku akan tetap menemani kamu. Sampai kapanpun"
"Kamu sudah membuang waktumu selama dua tahun belakangan untuk akhir yang seperti ini, Dho"
"Kata siapa ini akhirnya? Perjuanganku belum berakhir. Ini adalah titik awal perjuanganku yang baru. Aku siap berjuang untuk mendapatkan izin Papa menikahi kamu. Dengan syarat apapun aku siap. Papa minta apapun akan aku sanggupi. Aku masih mau berjuang. Aku belum pengen menyerah tentang hubungan kita" kata Ridho "Toh Papa bilang tidak boleh kan karena Papa belum kenal aku, kalo sudah kenal, pasti akan berbeda. Aku sangat yakin"

Kata Ridho menenangkan Shabrina. Tapi itu kesungguhan bukan main-main

"Tapi kamu gak boleh kaya gini ya. Aku aja mau berjuang masa orang yang aku perjuangkan kaya gini. Aku butuh dukungan dan semangat dari kamu, Na. Ayo kita berjuang sama-sama" tambah Ridho
"Kalau akhirnya akan tetap seperti ini gimana?"
"Dicoba dulu, kan belum tahu" jawab Ridho
"Apakah kamu masih mau membuang-buang waktumu lagi?"
"Aku tidak membuang waktuku dengan percuma, karena balasannya adalah mendapatkan wanita paling sempurna di dunia" kata Ridho
"Kalo akhirnya memang kita gak direstui untuk menikah?"
"Aku gak peduli, aku tetep mau sama kamu. Kalo kamu gak menikah, berarti aku juga gak menikah aja"
"Dhoooooo. Gak bisa kaya gitu. Apa yang mau kamu bilang sama Ayah Ibu kalo kamu bikin keputusan kaya itu. Kamu tuh anak yang sangat berharga untuk mereka. Kamu tuh harapan dan masa depan untuk Ayah dan Ibu"
"Aku bilang gitu karena aku yakin dan optimis kita akan menikah, tapi mungkin bukan sekarang. Percaya sama aku, Na. Aku tuh pejuang yang tidak mudah menyerah"

Pada akhirnya Ridho harus memupus harapannya bisa menikahi Shabrina dalam waktu dekat. Masih ada perjuangan di depan yang pasti akan jauh lebih berat. Tapi, Ridho tidak akan menyerah semudah itu. Baginya, Shabrina memang layak untuk diperjuangkan. Selama di dalam mobil Ridho merayu Shabrina agar ia bersedia untuk mendatangi psikiater. Setelah perdebatan yang lama, akhirnya Shabrina setuju. Baginya yang terpenting sekarang adalah Shabrina. Shabrina harus baik-baik saja, secara fisik maupun secara mental

Monofonir (Rizky Ridho Ramadhani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang