Bagian 29

421 41 21
                                    

Happy reading sayang-sayangnya akuuu 🩷
Jangan lupa vote dan komen juseyoooo 🩷

.

.

.

Juna mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya, ia menatap bingung tempat di sekelilingnya taman bunga yang terasa familiar, lantas ia teringat sesuatu, "lah gue kan abis ketabrak!"

Juna mengecek seluruh tubuhnya yang ia ingat berlumuran darah kini putih bersih tanpa luka sedikitpun bahkan bajunya telah berganti, "apa gue langsung mati? Surga kah ini?"

"Juna.." Panggilan lembut dari belakangnya membuat Juna menoleh, ia hapal dengan panggilan itu.

"Mama!" Juna berlari ke sosok perempuan cantik yang duduk di bangku taman, entah sejak kapan ada bangku di situ Juna tak peduli yang terpenting adalah ia menghampiri sosok ibu yang selama ini hanya bisa hadir dalam mimpinya.

Juna mendekap erat sosok di depannya, ia menitihkan air matanya karena rasa hangat dan baru kali ini Juna dapat memeluk sosok ibu yang selama ini ia rindukan namun tak dapat di sentuh walaupun seujung kukunya.

"Mama Juna sayang mama, Juna mau sama mama aja di sini juga bisa peluk mama." Ujar Juna lirih namun masih bisa di dengar jelas sosok di dekapannya.

"Belum saatnya sayang, papa sama saudaramu menunggumu kembali." Sosok itu melepaskan pelukannya dan berjalan menjauh dari Juna yang berlari mengejarnya namun jarak di antara mereka semakin jauh.

"MAMA! MAMA TUNGGU JUNA! MAMA! JUNA MAU IKUT MAMA!" Juna berteriak dengan air mata yang kembali mengalir deras, entah apa yang terjadi dengan kakinya ia tak bisa melangkah kakinya terasa sangat berat padahal ia ingin sekali mengejar sosok ibunya yang kini telah hilang dari pandangannya.

.

.

Arvin berlari bak di kejar setan sembari meneriaki dokter siapapun itu yang bisa membantu adiknya, ia baru saja akan menghampiri Juna setelah pulang dari kampus tetapi saat dirinya baru saja memasuki ruangan Juna ia telah di suguhkan pemandangan adik bungsunya yang kejang-kejang, ia berlari meninggalkan ruangan Juna melupakan segala hal termasuk adanya tombol darurat di sana.

Beruntung saat di ujung lorong ia bertemu dengan pamannya, kebetulan Steven akan melihat kondisi Juna.

Steven segera memasuki ruangan meninggalkan Arvin yang terduduk lemas di depan pintu ruangan Juna.

"Tuhan tolong jangan ambil adikku." Arvin terisak dengan tubuh yang bergetar, ia takut kehilangan untuk yang ketiga kalinya.

Tak lama setelahnya Steven keluar ruangan dan segera membantu keponakannya untuk berdiri, merengkuhnya dalam dekapan sembari memberikan kata penenang, "Juna baik-baik saja, Arvin tenang ya adiknya Arvin kan hebat."

"Arvin takut om... Arvin takut kehilangan adek, Arvin nggak mau di tinggal lagi." Arvin membalas pelukan pamannya tak kalah erat, ia benar-benar merasa takut Juna akan menyerah dan meninggalkannya selamanya.

"Udah ya tenang, udahan nangisnya kita liat adek kedalam." Steven melepas pelukan mereka dan menghapus air mata yang mengalir deras di pipi keponakannya.

Arvin mengangguk sebagai jawaban dan mengekori pamannya memasuki ruangan Juna, ia memandang sendu ke arah Juna yang kini kembali tenang dengan tidur panjangnya.

"Ajakin adek bicara ya, om tunggu di luar kalo ada apa-apa jangan panik, pencet aja tombol darurat dekat ranjang Juna." Steven menepuk pelan pundak Arvin mengusapnya pelan memberikan ketenangan dan bergegas meninggalkan ruangan, memberikan Arvin waktu berdua dengan adiknya.

Arvin menatap pintu yang tertutup setelah pamannya keluar, pandangannya beralih pada adiknya yang senantiasa menutup matanya, ia mengusap pelan surai adiknya lantas beralih pada pipi tirus adiknya, pipi yang dulunya sering ia cubit karena gembul sekarang telah berubah drastis, ia menatap bibir pucat adiknya bibir yang dulunya berwarna merah alami akhir-akhir ini sering terlihat kehilangan warna aslinya.

"Adek bangun ya sayang, kakak kangen adek kangen peluk-peluk adek, kakak udah coba loh skeatboardnya, katanya mau desain bareng-bareng skeatboard punya kakak, nanti kalo adek bangun kakak ajarin main skeatboard ya, kakak beliin skeatboard buat adek, kita main bareng-bareng sama abang nanti, abang udah bisa lihat loh dek." Arvin menjeda ucapannya sembari mengusap air matanya.

"Dek, tau nggak sih kemarin Travis, Jhon sama Justin nangisin kamu loh, bangun ya kamu harus liat gimana mereka nangisin kamu, lucu banget tau, yang lebih lucu lagi Arthur dek dia ikut nangis padahal anak itu udah kaya tembok aja kan mukanya datar mulu, oh iya kamu harus minta jaket kamu itu loh di pakek Sam terus sampe buluk tuh" Arvin terkekeh namun air matanya senantiasa mengalir.

"Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas loh dek, adek ngga mau belajar ya makanya tidur terus, kakak janji nggak maksa adek belajar matematika deh, nanti kakak ajarin rumus ajaib aja gimana biar adek nggak susah-susah belajar matematika buat ulangan, terus kan dek katanya Travis kamu mau ikut lomba nyanyi kan di sekolah, bangun ya sayang kita latihan nyanyi di studio pribadi milik bang Daniel."

"Dek nanti kalo bangun jangan nyari Ruby ya, Ruby kamu udah hancur dek nanti minta Ruby baru aja ya ke papa."

Arvin kembali menghapus air matanya dan tersenyum ke arah Juna, membenarkan selimut yang membungkus adiknya dan mengecup ringan kening adiknya.

"Kakak pamit ya, nanti kakak jengukin adek lagi." Ujar Arvin sebelum meninggalkan ruangan Juna.

Arvin keluar dari ruangan dan berlajan lesu keluar dari rumah sakit, sebelumnya ia telah mengirim pesan pada Steven untuk berpamitan pulang, namun nyatanya Arvin tak benar-benar pulang.

Di sinilah Arvin sekarang, danau favoritnya tempat yang selalu di kunjungi nya ketika keadaan hatinya tak baik-baik saja, kali ini Arvin pergi tanpa Samuel, ia ingin menenangkan hati dan pikirannya.

Arvin melempar batu kecil-kecil pada air danau yang tenang sehingga menimbulkan gelombang kecil pada airnya.

"Jangan ambil Juna ya ma, Arvin nggak mau kehilangan adik Arvin lagi." Entah apa yang Arvin bicarakan ia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya.

"Arvin udah kehilangan mama, kehilangan adik Arvin yang lainnya, Arvin nggak mau kehilangan lagi, Juna itu separuh nafasnya Arvin." Arvin meraba di sekitar ia duduk, rupanya sudah tak ada batu lagi untuk ia lemparkan.

Arvin meraba kantong jaketnya saat merasakan ponselnya bergetar tanda ada pesan masuk, dan benar ada pesan dari Samuel yang memintanya datang ke kampus karena ada acara seminar di kampusnya, lantas ia bergegas bangkit menepuk bagian celananya yang terkena debu dan segera menuju motornya, ia tak ingin teman-temannya menunggu lama karena ia juga salah satu panitia dari acara tersebut.

***
See u next chapter 🩷
Terimakasih untuk vote dan komennya 🩷

감사합니다

TRIPLE'S A (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang