Bagian 9

480 52 7
                                    

Sebulan telah berlalu, Arka telah terbangun dari komanya, Arvin juga tak lagi menggunakan kruk saat berjalan bahkan ia sudah kembali ke kamar lamanya yang berada di lantai dua, namun sifat hangat Arvin belum juga kembali malah semakin hari Arvin semakin menghindar dari keluarganya bahkan Arka ikut membujuk Arvin mengatakan bahwa kecelakaan itu bukan salahnya dan kebutaan yang di alami Arka itu adalah takdirnya.

"Dek!?" Arka memanggil Juna sembari meraba sekitar tempat tidurnya, sekarang ia berada di kamar bawah yang dulunya di gunakan Arvin sebelum ia yang menggunakannya.

"Apa bang?" Sahut Juna menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar mandi, ia sedang mandi namun tiba-tiba saja Arka memanggilnya, memang Arka tak melihat akan tetapi Juna tak mungkin keluar kamar mandi dalam keadaan telanjang.

"Tolong dong, abang haus."

"Bentar ya bang, abang jangan gerak di situ aja, Juna lima menit lagi selesai." Ujar Juna yang kembali memasuki kamar mandi dan mulai memakai bajunya dengan terburu-buru.

Tanpa mereka sadari Arvin sejak tadi berdiri di balik pintu, mendengar percakapan kedua saudaranya membuat Arvin semakin hancur, sekarang Arka harus bergantung pada orang lain dan itu semua salahnya, dan bodohnya ia tak bisa menjadi tempat bergantungnya Arka.

"Bodoh kau Vin bodoh!" Makin Arvin dalam hati pada dirinya sendiri, lalu ia memilih pergi demi mengurangi rasa sesaknya.

Juna yang telah selesai memakai baju segera menghampiri Arka, namun saat di ambang pintu rasa sakit di kepalanya tiba-tiba saja kambuh, sekuat tenaga Juna menahan rintihannya, ia kembali memasuki kamar mandi dan mencari obat yang berada di kantung jaketnya, setelah menelan obatnya Juna menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi yang dingin dengan nafas terengah-engah.

"Juna capek, tapi ngga boleh nyerah, fighting Juna!"

Setelah nafasnya mulai stabil dan rasa sakit di kepalanya berkurang Juna segera menghampiri Arka, tak ingin membuat abangnya menunggu lebih lama.

"Ini bang minumnya pelan-pelan," ujar Juna yang menyodorkan gelas ke tangan Arka dan di terima baik olehnya.

"Makasih ya dek, maafin abang kalo ngre-"

"Shutt ga boleh bilang gitu, adek ngga suka." Potong Juna dan menempelkan jarinya di bibir Arka.

Arka lantas tersenyum dan menepuk ranjang di sampingnya, "sini bobo sama abang, udah lama abang ga kelonin koala gembrot."

"Abang ih Juna ngga gembrot!" Karena kesal Juna mencubit tangan Arka.

"Ahh sakit dekk iya ampun ngga gembrot kog!"

"Andai gue masih bisa liat kaya dulu pasti sekarang Juna lagi manyunin bibirnya gemes kaya bebek." Batin Arka tersenyum pedih membayangkan Juna yang kesal dengan bibir mengerucut menyerupai bebek, dan itu hal favorit bagi Arka.

"Abang?" Panggil Juna yang kini telah memposisikan tubuhnya di samping Arka.

"Kenapa?" Arka merubah posisinya menjadi menyamping menghadap Juna, walaupun pandangannya gelap ia tau kalo sekarang ia tengah menghadap ke arah Juna.

"Abang sedih ngga kalo adek pergi?"

"Hah?" Arka bukan tak dengar ia hanya tak paham dengan ucapan Juna barusan.

"Ngga jadi bang, tidur aja yuk Juna ngantukk." Juna langsung merubah posisinya dan bersembunyi di balik ketek abangnya.

"Jun jangan cepet gede ya, gemesin bet soalnya." Ujar Arka sembari mengusap sayang surai adiknya.

"Serem bet ngga gede-gede, Juna tuh harus cepet gede bang, Juna mau jadi dokter kalo gede nanti kaya om biar kalo abang, kakak atau papa yang sakit Juna yang rawat, tapi Juna harap kalian sehat selalu."

Arka tertegun mendengar penuturan adiknya, Juna itu ajaib pemikirannya yang dewasa selalu membuat keluarganya bangga, Juna juga cerdas dan tak pernah menyerah, Arka yakin jika suatu saat nanti Juna akan mewujudkan cita-citanya, namun kehendak Tuhan mana ada yang tau.


***

Di sekolah Juna dan kedua kawannya Travis dan Jhon tengah menunggu kedatangan Justin di parkiran, entah apa yang di lakukan anak itu tapi tak biasanya Justin berangkat akhir bahkan ia yang paling sering berangkat duluan.

Karena kesal menunggu lama dan bel sekolah akan berbunyi lima menit lagi tapi Justin tak kunjung menunjukkan batang hidungnya, mereka memutuskan menunju kelas terlebih dahulu.

Tepat saat bel berbunyi Justin memasuki kelas dengan terburu-buru, dengan nafas terengah-engah Justin menuju bangkunya.

"Darimana sih njir baru dateng?" Tanya Jhon berbisik karena guru telah memasuki kelas mereka.

"Ntar juga tau." Jawab Justin acuh lalu pandangan lurus ke depan.

Bel istirahat telah berbunyi para siswa telah berhamburan keluar kelas, di kelas Juna kini hanya tersisa Juna dan kawan-kawannya.

"Kantin kuy!" Ujar Jhon yang telah berdiri dari kursinya.

"Bentar!" Teriak Justin yang mencekal lengan Jhon agar anaknya tak kabur duluan.

Justin mengeluarkan map dari laci mejanya dan menyerahkan pada Juna, "Jelaskan."

Juna menerimanya dan membaca sekilas kertas putih dalam map tersebut, ia menghela nafasnya sembari menutup map yang ia pegang.

"Kenapa diem Jun? Itu bukan lo kan? Plis jawab gue kalo itu salah." Ujar Justin dengan mata yang berkaca membuat Jhon dan Travis kebingungan dengan apa yang terjadi.

Travis merebut map di tangan Juna dan dibacanya map tersebut dengan Jhon yang sama penasarannya.

"Jun ngga mungkin!" Travin kini menatap Juna yang menunduk dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Iya itu gue, gue yang sekarang adalah Juna yang penyakitan dan gue benci itu,"

"Terus kenapa lo sembunyiin ini Jun?" Tanya Travin dengan nada penuh kekhawatiran.

"Gue-"

"Gue tau lo ga mau repotin kita, Jun kita sahabatan udah lama, kalau aja gue ngga liat ini dari laptop kakak gue apa lo bakal sembunyiin ini terus? Jun lo punya kita, plis jangan sembunyiin apapun dari kita." Potong Justin yang melihat Juna tak mampu memberi penjelasan.

"Om Leon sama yang lain udah tau?" Tanya Travis.

Juna menggeleng sebagai jawaban, "Gue ngga sanggup bilang, awal gue tau sebenarnya udah mau gue omongin tapi hari di saat gue tau kalo gue mengidap leukimia bertepatan saat abang sama kakak kecelakaan, gue ngga mau liat papa semakin hancur saat tau keadaan gue."

Travis memeluk Juna dari samping guna memberi ketenangan pada Juna yang kini terisak di ikuti yang lainnya, empat bersahabat itu kini saling berpelukan untuk saling menguatkan.

"Mulai hari ini apapun kita lalui bersama, Jun lo punya kita." Ujar Jhon yang memegang bahu Juna.

"Tapi kalian janji, jangan beri tahu siapapun, setidaknya sampai bang Arka bisa lihat lagi." Ujar Juna dengan memberikan jari kelingking sebagai bukti janji mereka.


***

Annyeong yeorobunnnnn....
Maaf kalau update nya lama, authornya lagi sibuk kondangan T_T

Jangan lupa vote dan komen :)


감사합니다










TRIPLE'S A (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang