BAB 02 - 1/2

1.1K 85 0
                                    

Bab kedua pun akan dimulai, kehadiran sosok yang dinanti-nanti.

Pagi itu, Lan Wangji dan Sizhui memilih sarapan bersama dengan yang lain. Mereka duduk dengan tenang tanpa menghiraukan pandangan orang-orang yang berada disini. Bagaimana tidak? Ini adalah pemandangan langkah melihat keduanya duduk berdampingan dan makan dengan tenang bersama mereka. Para penatua pun hanya bisa melemparkan tatapan penuh tanya pada ketua sekte Lan yang tentunya dibalas gelengan tidak tahu.

Entah kenapa acara sarapan pagi itu terasa lebih hening dari biasanya. Mereka memilih untuk makan dalam diam seraya melirik pada pasangan ibu dan anak itu. Sang ibu yang makan dengan tenang, terlihat anggun dan tegas disaat yang bersamaan. Sedangkan sang anak yang makan dengan tenang layaknya mereka semua akan tetapi, aura yang dipancarkan berbeda, Sizhui terlihat selayaknya seorang putra mahkota yang tengah menyantap hidangan kerajaan.

“Sizhuuiiiiii~ kapan kita akan berangkat ke desa Mo? Aku tidak sabar untuk melihat makhluk yang akan kita taklukkan.”

Dan semuanya hancur seketika, karena seseorang yang dengan santainya berbicara dengan sumpit yang berada di mulutnya. Merasa ditatap, orang itu balik menatap dengan galak. Akan tetapi nyalinya menjadi ciut saat sang penatua Lan Qiren memberikan tatapan tajam. Nyawanya terselamatkan oleh suara Lan Wangji yang terbatuk pelan, netra emas itu melirik pada si pembuat onar dan menggelengkan kepalanya pelan.

Sizhui menyelesaikan sarapan sedikit lebih cepat, begitu juga dengan sang ibu, dan pamannya. Sizhui tertawa pelan, nyaris tak terdengar dikala dia mengingat kejadian beberapa saat lalu. Sedangkan sang ibu tetap setia dengan ekspresi wajah datarnya.

Acara sarapan itu berlangsung tidak begitu lama, karena mereka merasa tidak tahan untuk tertawa. Ketika acara sarapan itu selesai, Sizhui langsung membuka suara untuk menjawab pertanyaan tadi.

“Jingyi, kita akan berangkat pukul 8 nanti, aku akan melakukan pengecekan ulang untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Ah, dan mungkin bisa sedikit lebih lama mengingat ada yang melanggar peraturan.”

Yang disindir pun langsung merasa malu dan dengan tidak sopannya dia memukul bahu Sizhui. Sizhui yang entah kenapa ingin bermanja dengan sang ibu—menggoda Jingyi pun melancarkan kejahilannya. “Ibuu~ lihat. Jingyi menindas A-Yuan.. Bahu A-Yuan sakit ibuuuu~”

“Sini ibu sembuhkan.” Lalu sedetik kemudian suara tawa pun lepas dari mulut Sizhui ketika sang ibu menciumi tanpa henti. Jingyi yang melihat itu hanya bisa melongo kaget, bukan hanya Jingyi tapi semua orang yang berada disana juga kaget.

Setelah puas menciumi sang anak, Lan Wangji bangkit dari duduknya dan duduk di dekat Jingyi. Netranya menatap tajam pada sosok dihadapannya dan yang ditatap merasa dirinya akan mati beberapa detik lagi. “Ulurkan tanganmu.”

Si pemilik netra emas itu hanya mengucapkan dua kata, tapi ditelinga Jingyi itu seperti sebuah seruan menjelang kematian. Tanpa menunggu perintah kedua, Jingyi mengulurkan kedua tangannya dengan mata yang terpejam erat. Lalu, yang terjadi berikutnya membuat Jingyi tersedak karena tertawa, bahkan air matanya sampai keluar.

Ya, lagi. Semua yang berada disana menatap pemandangan itu dengan ‘tidak Gusu’ sama sekali. Mulut yang terbuka, kedua mata yang melebar, dan seruan yang benar-benar tidak mencerminkan ‘sekte Gusu’.

Tindakan Lan Wangji saat ini, bukanlah sebagai seorang Hanguang Jun, melainkan sebagai seorang ibu yang tengah menyalurkan rasa sayangnya. Siapa itu manusia tanpa ekspresi? Siapa pula itu manusia dingin dengan tatapan tajam? Siapa pula yang peduli soal sifat yang harus dimiliki seorang penerus? Kini dihadapan mereka hanya ada seorang ibu dan anak yang memiliki tatapan penuh kasih sayang dan raut wajah yang sedikit melembut.

Jingyi yang diserang ciuman bertubi-tubi dari Lan Wangji dan Sizhui yang menggelitikinya kini tengah menangis mohon ampun pada kedua se—ehem!—pada kedua manusia agung dihadapannya. Lan Xichen selaku ketua sekte hanya bisa tersenyum lebar dan senyuman semakin lebar ketika dia melihat raut penuh kebahagiaan dari sang adik. Namun, demi keberlangsungan hidup Jingyi, Lan Xichen dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya mencoba menghentikan ibu dan anak itu yang dihadiahi tatapan tajam. Merasa enggan untuk merespon, Xichen mengangkat tubuh Jingyi layaknya balita berumur 5 tahun.

Lan Wangji dan Sizhui yang merasa kehilangan mainannya merenggut kesal, walaupun ekspresi Lan Wangji tetaplah datar seperti biasanya. Tapi bagi Xichen yang dapat membaca raut wajah sang adik, tentu saja dia bisa mengetahuinya dengan cepat. “Wangji, Sizhui, kalian ini apa tidak sadar jika para penatua masih berada di ruangan ini?”

“...” Lan Wangji hanya menatap sang kakak dengan datar dan Sizhui hanya terkekeh geli melihat kondisi Jingyi yang mengenaskan. “Sizhui, kau kejam!”

“Hei? Kenapa hanya aku? Yang menyerangmu bukan hanya aku, Jingyi, ibuku juga.” Jingyi menatap Lan Wangji yang balas menatapnya datar dan memilih meringkuk dibelakang punggung Xichen.

“Sudah, sudah. Jingyi. Kami sudah menganggap kejadian tadi sebagai hukumanmu, sekarang kalian bersiap untuk berangkat.” Jingyi menatap tidak percaya pada Lan Qiren dan para penatua yang lain, yang tengah mengangguk kecil menyetujui ucapan Lan Qiren.

“A.. A... Te..te..terima kasih..” Jingyi memberikan hormat pada para penatua dan kedua giok Gusu lalu pergi menarik Sizhui sambil dengan jelas memarahi calon penerus sekte itu.

Setelah drama dadakan yang dilakoni oleh Lan Wangji, Lan Sizhui, dan Lan Jingyi saat sarapan tadi. Disinilah Sizhui dan Jingyi berada, desa Mo. Mari kita melupakan perilaku calon penerus sekte beberapa saat lalu yang terlihat keluar dari seharusnya. Disini dia harus bersikap profesional karena kini dia bertanggungjawab atas nyawa murid sekte Lan yang dia bawa juga nyawa penduduk desa.

“Kita mencari penginapan terlebih dahulu sambil mengawasi situasi disekitar kediaman keluarga Mo, tidak sopan jika kita bertamu malam-malam begini.” Sizhui berkata dengan tenang dan menatap lembut pada murid sekte Lan yang dia bawa. Perjalanan dari Gusu ke desa Mo memakan waktu yang cukup lama karena mereka beberapa kali beristirahat mengingat ada beberapa murid yang terbilang belum terbiasa berjalan jauh.

“Jingyi, aku serahkan sisanya padamu. Aku akan berpatroli sebentar.” Sizhui berkata sambil memberikan kantong uangnya yang tentunya tidak akan berisi sedikit. “Pesankan mereka makanan. Gunakan uangku untuk membayarnya.” Tanpa menunggu jawaban, Sizhui terbang dengan mengendarai pedangnya.


To be continue

WILD DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang