051: (what if) tak beruntung 2.

1.3K 128 5
                                    

Malam hari ini keduanya memutuskan untuk duduk bersantai di balkon. Dengan di temani secangkir kopi milik Haechan, dan secangkir teh panas milik Renjun. Tatapan kosong milik Renjun hanya berpandang lurus ke depan.

"Mas, aku minta tolong buangin kotak hitam yang ada di dalam lemari ya nanti." Ucap Renjun memecah keheningan yang sedari tadi menerpa keduanya.

"Kotak hitam? Yang isinya alat tes kehamilan kamu semua?" Haechan memang tau isinya, dari awal memang Renjun tak mengizinkan ia untuk membuangnya, entah alasannya apa.

Renjun hanya menganggukan kepalanya, memang benar itu isinya. "Adek engga mau terus berlarut dalam kesedihan kalau liat itu." Semakin pelan suara Renjun yang terdengar, nada suaranya pun terdengar bergetar. Haechan mengambil tangan Renjun untuk ia genggam, ia kecupi juga saat tangan mungil tersebut sudah dalam genggamannya.

"Ini alasannya ya? Alasan beberapa hari lalu tangisan kamu?" Haechan memang sampai hari ini tidak mengetahui penyebab mata Renjun beberapa hari lalu. Ia juga tak berani mendesak Renjun untuk menjawab, ia ingin Renjun membuka suara saat dirasa Renjun sendiri pun sudah siap.

"Nanti aku buang ya."

"Kamu engga happy ya hidup berdua sama aku doang? Kamu engga mau ngehabisin waktu cuma berdua sama aku doang?" Tanya Haechan.

"Kok mas tanyanya gitu? Mau lah, adek mau terus terusan sama mas selamanya." Alis Renjun menukik pertanda tak suka, entah apa yang di pikirkan suaminya ini sampai berbicara begitu.

"Kamu kenapa seobses itu punya anak? Aku engga masalah kok kalau kita engga punya anak." Mata elang Haechan menatap mata kecil Renjun dengan lamat-lamat.

"Mas. Kita dua-duanya anak tunggal loh. Mas engga kasian ya sama Mae, papa, mamam, papap. Mereka pasti mau punya cucu juga."

"Adek. Orang tua kita engga mendesak itu, stop pikirin perasaan orang lain, ayo fokus sama diri kamu sendiri aja, aku engga bisa terus-terusan lihat kamu nangis kyk gini karena merasa sedih. Ayo fikirin kesehatan mental kamu sendiri." Haechan menyuruh Renjun agar duduk di pangkuannya. Merengkuh tubuh kecil nan rapuh itu ke dalam pelukannya. "Aku akan terus sayang sama kamu, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun dan seterusnya perasaan ini akan tetap sama."

°°°°°°°°°°

Hari yang di tunggu Renjun akhirnya tiba. Hari dimana Haechan mengambil libur untuk mengikuti prosedur tes kesuburan. Tetapi tangan besar Haechan masih merangkul pinggang ramping Renjun. Keduanya tengah menunggu di ruang tunggu rumah sakit. Dengan perasaan gusar Renjun, entah kenapa dirinya sungguh khawatir.

"Kalau aku engga subur gimana ya mas?" Tanya Renjun berandai. Tes saja belum ia bahkan sudah memikirkan jawaban yang belum pasti.

"Gpp lah. Emang kenapa? Kamu fikir aku akan ninggalin kamu ya? Aku nikah sama kamu bukan perihal anak, dari awal menikah aku engga pernah fikir soal anak. Menurut ku anak itu cuma bonus, aku mau kamu, aku mau kamu menemani masa tua aku, adek." Haechan sangat santai menanggapi pertanyaan Renjun.

Haechan sendiri memang tak terlalu memusingkan ingin memiliki anak. Anak adalah nomor kesekian baginya.

"Bener ya?" Renjun memicingkan matanya memastikan suaminya, Haechan dengan kekehannya ia menganggukkan kepalanya dengan jarinya yang jahil menoel hidung mancung Renjun.

Keduanya sepertinya melupakan bahwa mereka sedang berada di rumah sakit. Haechan dan Renjun tak menanggapi beberapa pasang mata yang sedari tadi memperhatikan nya. Hingga akhirnya keduanya di panggil ke dalam ruangan, menemui dokternya.

"Selamat pagi dok." Sapa Renjun.

"Pagi, silahkan duduk pak. Ada keluhan apa nih?" Tanya sang dokter perempuan cantik bername tag asya ini.

Mas dan Adek (Hyuckren)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang