02

207 37 9
                                    

Bina Maira Ranjani

"Ma... aku gak mau dijodohin, kesannya aku gak laku banget sih? Lagian... Mama gak percaya kan kalo aku lesbi? Ma... mantan aku cowok semua, ganteng-ganteng lagi, aku... lesbi dari mana coba?"

Gue mencoba menjelaskan pada Mama ketika gue, Papa, dan Mama makan malam bersama di rumah. Iya, baru aja Papa ngomongin soal perjodohan gue. Asli ya, gue gak menyangka kalau perjodohan ini ternyata seserius itu sampai keluarga gue yang jarang makan malam bersama ini dibuat berkumpul hanya untuk membicarakan perihal itu.

"Mantan kamu cowok semua, tapi emangnya ada yang jadi?" Beneran ya, mulut Papa tuh kenapa julid banget sih sama anak perempuannya sendiri?

"Papa!!! Ya namanya belum jodoh gimana?"

"Ya makanya kan Papa cariin jodoh."

Gue berdecak sambil melipat tangan gue di atas dada, melupakan makanan gue yang udah gak ada rasa lagi semenjak topik ini diangkat di tengah makan malam kami tadi.

"Ma... bantu aku dong, Mama ada di pihak aku kan?"

Si Mama yang dari tadi diam kini hanya menghela napas, "Kamu gak mau ketemu orangnya dulu?"

Gue memutar bola matanya malas, harusnya gue emang gak mengharapkan bantuan dari Mama yang selalu aja ikut semua keputusan Papa.

"Gak mau!"

"Dia ganteng kok, anak pejabat, temannya Papa, pinter, banyak uangnya, kamu pasti gak akan nyesel Bina!"

Gue tertawa mengejek, mantan-mantan gue dulu juga kualitas tinggi semua, tapi emangnya menjamin bahagia? Oh enggak sama sekali. Gue bukan perempuan yang bisa dibuai dari ketampanan sampai materi. Semuanya tentu aja bisa gue miliki, kalau gue mau.

"Maaf Pa, gak tertarik."

"Wah, kayaknya kamu beneran lebih suka perempuan!" Kata Papa sambil menggelengkan kepala.

Gue tertawa hambar, tapi rasanya yang Papa bilang tadi itu benar juga. Gue lebih tertarik sama sosok Cinta Laura, wanita cantik, keren dan hebat dari pada sama cowok dengan spek yang Papa sebutkan tadi.

"Mungkin iya," jawab gue sambil mengedikan bahu.
"Pokoknya Ma, Pa, mau dia anak konglomerat sekalipun, aku gak mau dijodohin, mau itu cowok atau cewek, aku mau menemukan jodoh aku sendiri!" tegas gue sebelum beranjak dari kursi makan dan melangkah keluar sebelum Papa berteriak.

"BINA!"
"Kalau tawarannya adalah kamu menggantikan posisi Papa di perusahaan? Apa kamu mau menikah?"

Ah... sial. Gue lemah kalau itu soal karir dan ambisi.

***

Bani Hanif Ashraf

Gue menghela napas berat ketika mendapati ibu harus kembali masuk rumah sakit karena hipertensi yang dideritanya harus kembali kambuh dan lagi-lagi itu karena gue.

Setelah tau kalau gue akan dijodohkan, tentu aja gue memberontak, kapan sih Bani Hanif Ashraf itu jadi anak baik yang nurut sama orangtuanya? Alih-alih menenangkan ibu yang sudah mengeluh pusing di kepalanya ketika kami berdebat, gue malah pergi ke diskotik. Gak bersama Celine, cewek itu mungkin bisa ikut marah dan cuma nambah beban aja. Jadi gue pergi sendirian, cari distraksi sekaligus pelampiasan.

Perdebatan dengan ibu dan ayah di rumah tadi bener-bener bikin gue muak. Apa-apaan coba gak ada angin, gak ada ujan, tiba-tiba aja gue dijodohin? Cih! Waktu ayah ngasih tau siapa perempuan yang bakal dijodohin sama gue, gue tau kalau ini  pasti adalah kepentingan ayah yang mau maju ke kursi DPR, dia butuh dana yang banyak dengan begitu dia menjual gue untuk jadi menantu pengusaha tajir melintir.

Bina & Bani (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang