36

111 23 12
                                    

Bina Maira Ranjani

Gue gak menyangka kalau Bani akan menyusuli gue dengan baju yang ia pakai tidur setelah digantikan oleh gue. Baju putih dan celana pendeknya itu. Minimal ganti baju dulu kan bisa ya?

Sebenarnya gue mau ketawa waktu dia dikira orang stress sama bapak satpam, tapi karena mood gue lagi jelek, gue jadi gak bisa ketawa, apalagi kalau inget tentang pesan yang dikirim Celline ke Bani semalam.

Literally isinya itu, Bani jangan lupa besok temenin aku lagi.

Jangan lupa.

Temenin aku LAGI.

Berarti kan mereka emang udah janjian dan kemarin malam mereka memang bertemu. Gue gak tau Bani ini sengaja mau membalas gue atau memang pada kenyataanya Celline dan Bani memang masih berhubungan? Who knows?

"Iya, bener. Tapi mbak..."

Gue langsung memotongnya karena gak mau mendengar sesuatu yang gak ingin gue dengar,
"Ya udah, balik aja sana sama Celline."

"Terus kalau yang mbak takutin terjadi gimana? Hubungan saya sama Celline ke blow-up dan nama mbak jadi ikut terseret, terus itu menganggu pekerjaan mbak, merusak nama baik mbak, gimana?" gue memandang Bani dengan sorot sendu ketika mendengar pertanyaannya, kenapa dia tanya begitu? Alih-alih mengelak kenapa Bani malah bertanya kayak gitu seolah dia beneran mau kembali berhubungan dengan Celline?

Rasanya kecewa dan sedih kalau itu sampai benar, tapi mengingat omongan yang sudah gue lontarkan juga pada Bani, gue pun menyembunyikan seluruh perasaan itu dan berlaga acuh,
"Saya udah gak peduli lagi. Toh, saya juga bakal jadi karyawan biasa lagi." Iya, gue udah gak peduli lagi soal nama baik ataupun jabatan gue, tapi... dia. Gue malah mulai peduli sama Bani, karena tanpa dia mengerti bahwa semua yang gue lakukan ini adalah untuk melindungi dirinya juga orang-orang di sekitar gue.

Bani mengerutkan alisnya, "Hah? Gimana?"

Gue menghela napas berat. Gue mengingat lagi pengakuan Jeff terhadap gue tadi saat pertemuan kami di rooftop kantor.

"Iya, gue yang lakuin itu semua. Dan lo tau apa alasannya? Karena setelah kejadian kebakaran itu, gue kehilangan bokap gara-gara lo, semuanya gak berhenti sampai situ aja. Gue dibully karena jadi anak yatim, mama yang juga direndahin karena jadi seorang janda. Liat lo yang hidupnya baik-baik aja tanpa rasa bersalah karena bahkan lo gak mengingat itu semua, dan juga keluarga lo yang cuma bisa diam, biarinin lo lupa buat selamanya, GUE DAN MAMA SAKIT HATI! GAK TERIMA!"
"Bisa-bisanya lo lupa, hidup tenang tanpa rasa bersalah sedangkan gue dan mama... sampe sekarang lukanya masih ada, gue yang harus tumbuh tanpa seorang papa gara-gara ELO MBAK!"

Mendengar itu semua dari Jeff yang memekik sambil mengeluarkan air mata, gue jadi ikut terbawa dengan emosinya hingga kini gue ikut menangis dan kembali menyalahkan diri gue sendiri. Bahkan kalau Jeff mau mendorong gue dari atas rooftop itu, mungkin... gue gak akan melawan lagi.

"Gue minta maaf Jeff.... sekarang lo kasih tau, lo mau apa? Lo mau bales dendam ke gue? Gapapa, tapi ke gue aja, jangan orang-orang disekitar gue."

Jeff menghapus air matanya dan seringai dari bibirnya kembali muncul, "Begitu request lo? Bisa sih, tapi tujuan gue sebenernya itu emang ke orang disekitar lo. Biar lo ngerasain apa yang gue rasain, kehilangan orang yang lo sayang."

Gue menggeleng, "Jangan... jangan mama sama papa. Mereka juga kakaknya om Danu, gue ponakannya om Danu, gak ada yang mau---,"

"TAPI GUE ANAKNYA SIALAN!"

Gue cuma bisa menunduk ketika Jeff kembali berteriak.

Bina & Bani (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang