Bina Maira Ranjani
Mendapat pesan "See you," dari nomor yang gak dikenal yang bisa gue tebak adalah pelaku yang membakar rumah gue, membuat gue gak bisa tenang dan kehilangan fokus dalam bekerja. Jangankan bekerja, Fany aja jadi gue anggurin karena gue lebih banyak melamun untuk memikirkan pesan tersebut.
Rasa penasaran dan gelisah gue akibat pesan itu pun membawa gue pergi ke rumah gue di jam makan siang. Entahlah, gue tiba-tiba kepikiran kalau orang itu akan menemui gue di sana.
Gue akhirnya pergi dan meninggalkan Fany setelah bilang kalau gue akan pergi ke rumah, dan dia gak perlu ikut karena gue cuma akan mengecek sesuatu. Gue gak mau membawa Fany karena gak mau juga dia kebawa-bawa, apalagi kalau sampai orang itu gak terima gue datang bersama oranglain.
Fany sempat mengejar gue, tapi untungnya gue berhasil masuk ke lift yang sudah penuh hingga Fany tertinggal di lantai atas. Sampai di parkiran, baru aja gue hendak melangkah ke mobil gue, tiba-tiba ada yang menarik tangan gue sampai gue memekik karena terkejut sekaligus takut.
Tapi ternyata itu cuma.... Celline.
Oh. Gak cuma sih. Karena kehadiran dia di sini itu jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Oh, ternyata mbak kerja di sini."
"Oh, jadi kamu cari tau tentang saya?"
"Jangan geer! Saya tadi cuma temenin sepupu saya lamar kerja di sini."
"Masa sih? Siapa namanya? Perlu langsung saya lolosin?"
"Gak perlu, dia bisa lolos dengan skill dia sendiri, gak kayak mbak yang dapetin sesuatu karena jalur dalam. Mau itu soal kerjaan, ataupun soal pernikahan."
Gue mulai tersulut, "Maksud kamu?"
"Iya, mbak kan bisa dapetin posisi ini karena nepotisme, terus juga bisa dapetin Bani karena dijodohin, mbak gak pernah meraih sesuatu dengan usaha mbak sendiri. Parahnya, mbah rebut posisi orang!"
"Posisi kamu maksudnya?"
"Iya."
"Jangan terlalu merasa istimewa gitu Celline, kamu di mata Bani bukan siapa-siapa."
"Mbak jangan sok tau! Tau apa mbak soal Bani? Dia itu cinta kok sama saya, cuma karena mbak aja kagatelan ngerayu Bani sampe dia sekarang ninggalin saya!"
Tangan gue terkepal, entah kenapa rasanya sangat gak terima mendengar dia mengatakan kalau Bani cinta sama dia, rasanya jauh lebih menyebalkan ketimbang mendengar gue disebut kegatelan oleh mulut Celline. Hingga gue gak bisa menahan diri untuk meluapkan emosi gue.
"Saya memang jauh lebih tau! Kamu yang gak tau apa-apa soal dia! Kamu gak tau luka yang dia simpen! Kamu gak tau kan kalau dia punya PTSD karena trauma dengan kakak kembarnya yang bunuh diri? Pernah gak dia cerita ke kamu soal itu? Nggak kan? Iya karena kamu emang bukan siapa-siapa di hidupnya, kamu cuma pelampiasan Bani buat cari kesenangan aja Celline, kamu gak lebih dari tempat pelariannya dari stress!" Balas gue yang berhasil membuatnya terdiam, tapi bukannya merasa puas, gue justru menyesal karena sudah kelepasan membongkar apa yang selama ini Bani simpan hanya untuk menunjukan bahwa Celline masih di bawah gue untuk mengetahui tentang Bani.
"Tolong sadar posisi kamu Celline, tolong jangan ganggu saya atau Bani lagi. Gak usah khawatir, kalau memang Bani masih mau sama kamu, dia pasti datang lagi, dan di saat itu terjadi saya pasti akan suka rela lepasin dia."
Setelah mengucapkan itu, gue pun pergi meninggalkan Celline begitu saja karena kebetulan gue juga melihat kedatangan Fany, sebelum dia mendapati gue, gue harus lebih dulu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bina & Bani (Selesai)
FanfictionBina Maira Ranjani (27 tahun) "Lebih baik saya dianggap lesbi sama semua orang untuk selamanya dari pada harus nikah sama bocah kayak kamu, minimal lulus sarjana dulu deh." Bani Hanif Ashraf (22 tahun) "Mbak, saya juga masih punya pacar, kalau bukan...