Bina Maira Ranjani
Salah satu alasan kenapa gue memilih untuk tinggal sendiri adalah selain gue merasa sudah mampu untuk membeli rumah sendiri, gue juga merasa perlu memiliki tempat dan ruang kalau gue sedang seperti ini. Sedih, frustasi, kecewa, dan apapun itu, karena di sini gue bisa menjauh dari semua orang untuk meluapkan segala emosi gue tanpa terlihat lemah di depan orang lain.
Tapi... gue lupa kalau sekarang rumah ini tidak lagi berisi gue seorang, melainkan juga ada penghuni lain yang sosoknya tiba-tiba datang menghampiri gue dengan keadaan gue yang seperti ini... berantakan dan jauh dari baik-baik saja.
Iya, dia Bani.
Gue gak tau kenapa dia kembali ke sini karena saat gue sampai di rumah tadi jelas gak ada orang dan mobilnya juga gak ada.
"Mbak... kenapa?" Tanyanya, wajahnya menunjukan kecemasan, gue gak yakin soal itu sebenernya, bisa aja salah lihat karena penglihatan gue buram karena air mata yang menumpuk di pelupuk mata gue.
Gue sedang di titik terendah gue hingga gue melupakan rasa malu atau gengsi, yang gue butuhkan justru sebuah validasi sekarang, hingga gue bertanya,
"Kenapa.... semua orang jahat sama saya Bani? Saya salah apa sebenernya? Atau emang sebenernya saya jahat dan saya gak sadar?""Mbak ngomong apa sih?"
"Kamu..... ka--mu benci sa...ya juga kan Bani?" Harusnya iya kan? Tatapannya di pertemuan pertama kami jelas menujukan ketidaksukaannya.
"Enggak mbak!"
"Iya!"
"Enggak!"
"Iya Bani!" Pekik gue nyaris berteriak. Sesaat kemudian dada terasa sakit, tiba-tiba gue kesulitan untuk mendapatkan oksigen di ruangan ini.
"Mbak... tarik napas dulu ya? Mbak tenang dulu!"
Gue menggelengkan kepala sambil memukul dada gue untuk membuat organ di dalamnya kembali bekerja, tapi enggak bisa, napas gue semakin tercekat, dada gue semakin sakit, dan kepala gue mulai pusing.
"Mbak!" Mata gue yang tadi entah menatap kemana kini teralih saat Bani berteriak.
"Stop! Dengerin saya!"
"Tarik napas terus buang pelan-pelan...."Merasa nyawa gue sedang ditarik perlahan, gue pun mengikuti perintah Bani. Menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Lagi.... sampe napas mbak lebih teratur."
Benar. Napas gue mulai kembali teratur setelah mengikuti perintahnya, kemudian gue mendapati Bani yang tadi hanya jongkok kini duduk menghadap gue, dia gak bicara apapun tapi gue bisa merasakan bagaimana matanya yang terus menatap gue.
"Saya... dituduh malsuin laporan keuangan di kantor...," gue yang lebih dulu memecah keheningan di antara kami dengan memulai cerita gue dari awal sampai akhir, entahlah.... semuanya keluar begitu aja dari mulut gue.
Selesai bercerita, ada perasaan lega seperti sudah membuang sesuatu, tapi ada juga perasaan sedih ketika gue kembali mengingat itu semua.
"Mbak...." mata gue sedari tadi lari dari tatapannya tapi pergerakan tangannya yang menyeka air mata gue membuat atensi gue dipaksa teralih padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bina & Bani (Selesai)
FanfictionBina Maira Ranjani (27 tahun) "Lebih baik saya dianggap lesbi sama semua orang untuk selamanya dari pada harus nikah sama bocah kayak kamu, minimal lulus sarjana dulu deh." Bani Hanif Ashraf (22 tahun) "Mbak, saya juga masih punya pacar, kalau bukan...