Bani Hanif Ashraf
"Brengsek kamu Bani!"
"Liat! Liat Celline sekarang!"
"Semuanya gara-gara kamu!"
"Dia nyaris mati karena kamu Bani!"
"Dia mencoba bunuh diri sampai kayak gini, semuanya karena kamu!"Gue cuma bisa pasrah ketika tante Eva, mamanya Celline mendoron dan memukul bahu gue sambil menangis dan menujuk Celline yang sedang terbaring di atas brankar dengan luka di atas nadinya.
"CELLINE BUNUH DIRI! KAMU HARUS KE SINI, BANI!!! KAMU HARUS TANGGUNG JAWAB!" Kalimat tante Eva ditelpon tadilah yang membawa gue ke sini dan mendapati Celline yang ternyata melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat nadinya. Sialnya, Celline bahkan sudah menulis surat dan di dalamnya ada nama gue.
Aku sayang sama kamu Bani. Kalau di sini aku gak bisa dapetin kamu, mending aku pergi. Kamu udah menyakiti aku, dan hukumannya adalah kematianku.
Begitu isi suratnya, sangat tertuju pada gue bukan? Gak heran kalau tante Eva langsung menyalahkan gue seperti sekarang. Sangat dramatis memang dan terkesan cringe, kalau mengingat ini bukan hal serius, udah gue ludahin itu surat dari tadi.
Kepala gue blank. Gue gak punya tenaga untuk melawan atau sekedar membela diri, karena hal-hal berbau suicide adalah kelemahan gue bukan?
Gue ingin memaki Celline.
Sialan.
Kenapa lo harus bawa gue ke hal kayak gini lagi.
"Bani..." pukulan dari tante Eva berhenti ketika Celline yang memejamkan mata itu melirihkan nama gue. Tante Eva pun langsung menuju ke sang anak, sedangkan gue cuma bisa terpatung dengan tangan terkepal.
"Bani...." sekali lagi nama gue keluar dari mulit Celline yang tampaknya mulai sadar. Gue langsung mendapatkan tatapan tajam dari tante Eva.
Tatapan itu menarik gue untuk mendekat dan berdiri di sisi brankar Celline.
Gue melihat Celline membuka matanya dan langsung menatap gue, tangannya yang terbalut perban itu bergerak meraih tangan gue, "Bani.... jangan pergi. Di sini aja ya sama aku?"
Gue gak menjawab, tapi tatapan menghunus dari tante Eva dan juga perban di tangannya Celline membuat gue terdesak untuk menjawab, "Iya... aku di sini."
***
Bina Maira Ranjani
Jam sudah menunjukan pukul 4 pagi, dan gue sama sekali gak ada hasrat untuk tidur, selain karena memikirkan soal Jeff, gue juga menunggu Bani yang sampai sekarang belum pulang.
Gue ingin menghubunginya, tapi gue malu. Bukan gengsi lagi tapi beneran malu. Malu karena ucapan gue tadi, gue yang bilang kalau kita balik aja kayak dulu, terserah dia mau punya pacar atau nggak, kita cuma perlu mengurus urusan masing-masing, dan kalau gue menghubunginya sekarang, bertanya di mana dia, dan sedang apa, tentu aja itu gak sinkron dengan ucapan gue tadi.
Tok...tok...tok
Gue yang lagi duduk di atas sofa sambil memeluk lutut gue sendiri otomatis langsung duduk tegap ketika mendengar suara ketukan pintu.
Panik.
Pikiran gue langsung tertuju pada Jeff, karena kalau itu Bani, buat apa dia ngetuk pintu?
Tapi karena penasaran, gue pun mencoba mendekat, mengintip dari lobang kecil di pintu apartement Bani.
Gue gak bisa melihat terlalu jelas di luar sana, tapi gue mendapati ada 2 orang pria, yang satu gue gak kenal dia siapa, dan yang satunya lagi.... gue butuh lebih effort untuk melihatnya karena dia menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bina & Bani (Selesai)
FanfictionBina Maira Ranjani (27 tahun) "Lebih baik saya dianggap lesbi sama semua orang untuk selamanya dari pada harus nikah sama bocah kayak kamu, minimal lulus sarjana dulu deh." Bani Hanif Ashraf (22 tahun) "Mbak, saya juga masih punya pacar, kalau bukan...