08

182 32 17
                                    

Bani Hanif Ashraf

Gue berdecak sebal ketika mbak Bina menyuruh gue menjemput sampai masuk ke dalam kantornya dan bahkan ruangannya. Tadi ibu nelpon gue kalau mbak Bina baru aja naik jabatan, dia menggantikan Papanya yang memilih pensiun. Iya... justru gue taunya dari ibu, mbak Bina gak kasih tau sama sekali, ibu juga kasih tau kalau beliau diundang sama mertua gue buat makan malam, untuk merayakan naik jabatannya mbak Bina, kalau itu gue tau, mbak Bina lebih dulu kasih tau gue lewat telpon juga tadi sekalian dia minta jemput di kantornya ini.

Saat masuk kantor, seluruh makhluk di kantor ini dan bahkan cicak di tembok menaruh atensinya ke gue yang berjalan santai di koridor kantor setelah tadi bertanya dimana ke satpam dimana ruangan mbak Bina. Semua orang membungkukan tubuhnya sedikit ketika berpapasan dengan gue.

Wow. Beginikan rasanya jadi suami yang punya perusahaan?

Ada satu cowok yang menatap gue agak sinis, gue gak tau dia siapa tapi dia menegur orang-orang yang memberikan atensinya pada gue. Gak mau membawa pusing, gue pun menghiraukannya.

Sampailah gue di depan ruang mbak Bina. Tepat saat gue hendak membuka pintu, saat itu juga pintu terbuka menampilkan sosok mbak Bina yang menabrak dada bidang gue, hingga dia nyaris aja terjengkang ke belakang kalau aja pinggangnya gak gue tahan.

Mbak Bina tampak terkejut, begitupun gue. Baru aja gue hendak melepaskan tangan gue di pinggangnya setelah melihat kalau kita menjadi pusat perhatian orang-orang, tapi mbak Bina malah menahan tangan  itu meski kini dia sudah berdiri tegap lagi, gak sampai disitu aja, gue makin heran ketika mbak Bina melingkarkan lengannya di lengan gue.

"Apa nih mbak?" bisik gue tepat di telinganya.

"Kamu bisa kan jadi aktor dadakan? Jadi suami yang paling mencintai saya?" Balasnya berbisik juga.

"Saya dapet apa bayarannya?"

"Terserah, kamu bilang aja nanti."

"Oke. Deal ya!"

Gue yang tadi sempat kaku karena gak tau rencana mbak Bina, kini berubah sebaliknya. Gue rengkuh pinggang mbak Bina mesra dan tersenyum ke arahnya. Kalau cuma gini doang mah, gue jagonya.

"Kita pulang sekarang sayang?" Tanya gue.

Mbak Bina tersenyum meski agak kaku, lalu dia pun mengangguk.

"Yuk!"

Masuk ke dalam lift kami disambut beberapa orang  yang juga hendak turun. Mereka semua menatap kami dan memberikan kami posisi di tengah-tengah.

Kantornya mbak Bina ini ada 4 lantai, dan dari tiap lantai selalu masuk orang hingga gue dan mbak Bina yang tadi ada di tengah kini lumayan terdempet ke belakang.

Gue melirik ke mbak Bina. Dia tampak tidak nyaman ketika tubuhnya bersentuhan dengan om-om tua yang malah sengaja mepet-mepet ke dia. Gue yang ikut risih liatnya jadi meraih tubuh mbak Bina untuk berhadapan dengan gue dan memeluk bahunya, membuat mbak Bina membelakangi orang tadi dan kini berhadapan dengan gue, lebih tepatnya dada gue karena dia lebih pendek.

Hingga ketika kami tiba di basement, gue menggandeng tangannya untuk keluar dari lift dan gue bawa ke mobil gue yang terparkir di sini.

Saat masuk mobil, gue baru menyadari mbak Bina yang sedari tadi bawa-bawa bunga.

"Dari siapa tuh?" Tanya gue.

"Siapa aja kek."

Gue gak membaca notes-nya tapi langsung ke pengirim, disitu tertulis Jeff yang artinya itu adalah pria, iya kan?

"Mbak punya pacar juga?"

"Gak."

"Jadi Jeff itu siapa?"

Bina & Bani (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang