Bani Hanif Ashraf
Pembukaan Kafe gue cukup seru karena banyak banget temen-temen gue yang datang, mereka bahkan ikut membantu untuk mempromosikannya di sosial media mereka, pokoknya gue seneng sih walaupun buat buka Kafe ini gue masih kayak niat gak niat karena lumayan dadakan dan kesannya cuma untuk memenuhi syarat dalam pernikahan gue aja, biar gue ada pemasukan kata Papa, meskipun gue tau gak semudah itu buat balik modal, tapi ya... doain aja ya guys!
Kalian bisa tebak gue namain kafe ini apa?
B2B Cafe
Panjangannya Brew to Breathe Cafe, dengan nama ini gue berharap kalo tempat ini bisa jadi tempat yang menyajikan minuman (brew) sebagai cara untuk memberikan napas (breathe) kesegaran dan relaksasi. Gue berharap kafe ini bisa menjadi tempat di mana orang dapat beristirahat sambil menikmati minuman.
Sebenernya ada arti yang lain...
Bani to Bina... Bani untuk Bina.
Ya ini memang gue persembahkan buat Bina kan?
Buat kedua Bina-nya gue.
Pertama, gue pernah bilang ke Bina, kakak gue, waktu dia masih ada, kalau gue pasti bakal punya usaha sendiri, mau itu cuma toko kelontongan kek, pokoknya usaha apa aja asal bukan jadi karyawan, gue gak mau jadi budak korporat dimana itu adalah cita-cita dia buat bekerja di gedung-gedung tinggi dan membangun karir yang cemerlang di sana.
"Sekarang boleh lo yang lebih pinter, lebih rajin, tapi liat ya Na, gue yang bakal lebih sukses! Lo digaji, gue yang nge-gaji!" Begitu ucap gue pada Bina meski berniat bergurau juga karena gue sendiri gak yakin dengan ucapan gue saat itu.
Terus Bina ketawa sambil mukul lengan gue, kebiasaan dia kalau lagi ketawa, tau kan mirip siapa?
"Hahaha, iya deh gue liatin lo, kalo sampe lo gak sukses, gue daftarin lo jadi kader partai politik kayak bokap."
"Najis."
Dia ketawa lagi, ketawa besar banget sampe mulutnya gue jejelin jajanan yang saat itu sedang kami makan berdua.
Hah... mengingatnya lagi gue jadi... kangen.
Na.... gue masih benci banget sama lo. Lo yang pergi ninggalin gue gitu aja. Lo yang bikin gue punya trauma brengsek ini yang selalu bikin gue kepengen nyusul lo. Lo yang selalu kirim mimpi buruk itu. Dengan itu semua, gue benci banget sama lo Na. Tapi... gue masih nepatin janji gue ke lo kan? Di neraka sana lo liat gue nggak?
Adik lo yang selalu ada di belakang punggung lo, karena punya kakak yang jauh lebih hebat, kini bisa hebat juga, karena setidaknya gue masih bertahan di tempat bangsat kayak gini, gak kayak lo, pengecut, payah karena lo gak mau bertahan sedikit lagi aja bareng gue dan malah lebih milih pergi.
Kalau gue punya kesempatan ngomong sama Bina, gue mau ngomong itu semua sama dia.
Kemudian Bina yang kedua...
Bina isteri gue. Ini jelas karena alasan gue membuka kafe ini kan memang biar gue ada pemasukan dan gak numpang hidup doang sama mbak Bina.
Mbak Bina yang maju saat gue memberi sambutan berbisik tepat di telinga gue, "Congratulations, Bani. Orangtua kamu keliatan bangga banget sama kamu, kakak kamu di sana juga pasti bangga sama kamu. Selamat ya!"
Dari ucapan itu gue baru sadar, kalau tanpa menikah dengannya, gue gak akan kan bikin bangga orangtua gue? Gue juga gak akan kan menepati janji gue sama Bina, kakak gue? Jadi gue sangat ingin berterima-kasih padanya, karena lewat mbak Bina, gue jadi mencapai 2 hal tadi.
Di depan semua orang gue merangkul pinggangnya, lalu membalas ucapannya tadi dengan bisikan juga, "Makasih banyak ya mbak."
Dan kali ini.... gue sedang gak berakting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bina & Bani (Selesai)
FanfictionBina Maira Ranjani (27 tahun) "Lebih baik saya dianggap lesbi sama semua orang untuk selamanya dari pada harus nikah sama bocah kayak kamu, minimal lulus sarjana dulu deh." Bani Hanif Ashraf (22 tahun) "Mbak, saya juga masih punya pacar, kalau bukan...