39

130 26 18
                                    

Bani Hanif Ashraf

Gue sangat lega ketika pikiran gue gak menjadi kenyataan, mbak Bina gak berniat untuk suicide dengan tali itu, mbak Bina cuma mau menyimpan tali itu di dalam gudang. Meski sudah bernapas lega, dada gue masih berdegup kencang karena terlalu panik. Iya, gue memang segitunya. Celline aja gue sampe lari kenceng, apa lagi ini mbak Bina? Jantung gue beneran mau copot cuma karena melihatnya membawa tali.

Posisinya sekarang gue duduk di tepi kasur milik mbak Bina sambil menepuk dada gue sendiri untuk menenangkan diri, sedangkan si pemiliki kamar lagi ke bawah untuk mengambil minum.

Terdengar langkah teburu-buru dari arah tangga sebelum menampakan mbak Bina yang masuk ke kamarnya. Ia menyodorkan segelas air putih sambil mengambil posisi duduk di depan gue.

"Gimana keadaan kamu sekarang?" Tanyanya sambil menyeka keringat dingin di pelipis gue.

Gue yang sudah selesai minum, menaruh gelasnya di nakas sebelum tangan gue meraih tangan mbak Bina.
"Saya yang tanya, keadaan mbak gimana? Tadi waktu saya sampe sini, saya liat kamu masih muntah-muntah?"

"Bani, saya yang tanya duluan!"

Gue menghela napas, "Udah lebih baik! Mbak, gimana? Kenapa sampe muntah-muntah begitu?"

"Perut saya masih perih, tapi udah agak mendingan."

"Mendingan gimana sih? Orang tadi aja masih muntah! Kamu nih---," Gue jadi kesel sendiri, bawaannya pengen ngomel panjang kalo aja gak inget hubungan kita lagi gak sebaik itu, jadi gue menelan kembali semua omelan yang tadi akan gue lontarkan, berganti jadi pertanyaan dengan nada yang lebih rendah,
"Udah ke dokter belum?"

Dia menggeleng, "Niatnya kalo besok masih kayak gini, baru ke dokter."

Gue berdecak sebal lagi,  "Kenapa harus besok?"

"Iya males aja."

Enak banget dia bilang males begitu sedangkan gue dibikin khawatir mampus.

"Jangan males mbak, kalau kamu beneran hamil gimana?"

Dia terdiam sejenak menatap gue, "Kamu kepingin saya hamil?"

"Ya... nggak juga."

"Enggak Bani, saya gak mungkin hamil karena saya malah lagi datang bulan."

Ah... begitu. Kenapa agak sedih ya? Apa gue beneran berharap mbak Bina hamil?

"Kayaknya ini maag saya kambuh aja, saya kalo stress emang larinya ke lambung."

"Emangnya kenapa bisa sampe stress?"

Gue melihat mbak Bina mengerutkan dahinya dan memicingkan mata, "Kamu lupa ya sama yang terjadi di antara kita?"

"Itu bikin mbak stress?"

"Emangnya kamu nggak?"

Gue tersenyum miring, "Sedikit." Aslinya mah banyak, bukan stress lagi hampir depressed kali gue.
"Jadi... mbak gak hamil ya?"

"Emang kamu berharapnya saya hamil?"

Gue cuma tersenyum tipis dan memilih menjawab bohong, "Ya.. gak juga, tapi kata papa kalo mbak hamil, kita jangan sampe cerai."

"Terus kalau saya gak hamil, kita beneran cerai gitu?"

"Mbak sendiri... mau cerai atau gak dari saya?"

Bukannya menjawab pertanyaan gue sesuai konteks, mbak Bina malah bilang, "Bani, banyak yang perlu saya jelasin ke kamu."

Ah, itu kembali mengingatkan gue kepada masalah kita berdua dan rasanya apapun penjelasan dari mbak Bina, gue gak siap mendengarnya. Gue takut kalau semua penjelasan mbak Bina berakhir membuat gue kecewa lagi. Gue gak mau mbak Bina jadi orang yang terus menyakiti gue. Kalaupun kita harus pisah, gue mau mengenang mbak Bina yang baik dan indah-indah aja, bukan sebagai orang yang jahat untuk gue.

Bina & Bani (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang