14

169 29 11
                                    

Bina Maira Ranjani

"Yuk berangkat mbak, udah siap?"

Gue menyatukan alis melihat Bani sudah rapih dan sedang memainkan kunci mobilnya ketika gue baru aja turun dari lantai atas dan hendak berangkat naik taxi online lagi kayak kemarin.

"U-udah."
"Kamu.... mau nganterin saya?" Tanya gue karena gue gak percaya atas ajakannua tadi.

"Iya."

"Kenapa?"

"Saya gak ada kelas, gabut aja mau sekalian nugas di luar."

"Kamu gak pacaran aja?"

Bani menghela napasnya, "Pacaran sama mbak, yuk!"  Mulutnya minta dijepit jedai rambut gue kayaknya. Habis ngomong begitu, dia pun langsung melengos keluar dari rumah lebih dulu.

Waktu tadi gue sarapan, Bani ini belum bangun, jadi cuma gue sisain masakan gue buat sarapan tadi, makanya gue kaget waktu dia tiba-tiba udah rapih saat gue selesai siap-siap di kamar.

Sekarang gue dan Bani udah ada di mobilnya dan sedang dalam perjalanan menuju kantor gue. Gak ada percakapan di antara kami, cuma suara mobil berjalan yang terdengar sebelum Bani berinisiatif untuk memutar musik.

"Mobil saya besok udah diambil," ucap gue setelah suasana jadi lebih bising karena ada musik, gue baru berani untuk memulai percakapan. Lebih tepatnya menjawab pertanyaan Bani yang belum terjawab kemarin.

"Oh? Iya? Syukur deh kalau udah bener," balasnya.

"Bani...." panggil gue mencoba untuk meliriknya.

"Apa?"

"Kamu... kenapa jadi baik deh?"

"Dih? Emang saya pernah jahat?"

Gue memicingkan mata, menatapnya penuh protes karena gue gak setuju, "Siapa yang dulu bilang saya tepos? Gak laku? Beneran lesbi? Gak inget?"

Bani ketawa kencang sambil sesekali melirik gue, "Emang menyampaikan fakta itu sebuah kejahatan?"

"WAH? Saya  tarik lagi omongan saya tadi yang bilang kamu baik."

Bani ketawa lagi, "Hahaha... maaf deh mbak."
"Saya lagi kesel-keselnya itu dijodohin."
"Tapi hari pertama menikah, mbak malah baik sama saya, jadi ya saya juga berusaha buat baik sama mbak, lagian gak enak kan kalau kita satu rumah tapi kayak musuhan."

Gue pun diam, gak mau menjawab lagi, dan memilih untuk melihat keluar jendela, menatap hujan gerimis kecil yang membuat titik-titik air jatuh di kaca jendela mobil Bani. Membahas soal pernikahan... entahlah, bawaanya gue jadi sedih aja karena teringat gue yang berakhir dalam sebuah pernikahan ini, tanpa cinta, dan gak tau harus terjebak sampai kapan.

"Mulai musim hujan ya?" Basa-basi gue mencoba untuk mengenyahkan topik sebelumnya.

Gue gak tau bagaimana ekspresi Bani sekarang karena gue enggan menoleh, lalu sampai mobil berhenti karena lampu merah pun gue masih betah menatap jalanan yang ramai meski pagi sudah di dera hujan.

Tiba-tiba fokus gue teralih ketika gue mencium aroma wangi maskulin sangat dekat, ketika menoleh ternyata itu Bani yang wajahnya sudah persis di sisi wajah gue. Kenapa dia jadi seneng deket-deket sih? Minimal permisi kek!

"Pake seat-beltnya mbak, nanti kita kena tilang, di depan ada polisi," gue hanya bisa mengerjapkan mata ketika cowok itu memaikankan seat-belt pada gue.

"Oh begini cara kerja buaya?" Ledek gue berusaha untuk mengalihkan salah tingkah ini.

Bani melirik gue dengan kekehan, "Iya, udah mulai masuk perangkap belum?"

Bina & Bani (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang