awas ada adegan berbahaya di bawah wkwk
jangan lupa vote dan komen banyak-banyak^^
enjoy oll!!!
***
Bani Hanif Ashraf
Kepala gue rasanya emang berat dan sakit banget waktu pertama kali gue sadar, tapi setelah melalui serangkaian tes, gue cuma gegar otak ringan yang membuat gue sesekali mual akibat benturan itu dan membuat gue harus dirawat untuk beberapa saat di rumah sakit.
Ini hari kedua gue sadar tapi gue belum melihat sosok mbak Bina. Tiap kali gue tanya ke ibu, ibu selalu jawab kalau isteri gue itu sibuk dan belum bisa ke sini karena selalu pulang kantor larut malam.
Mama-papa mertua gue juga udah nengokin ke sini, mereka mencoba menghubungi anaknya tapi gak ada jawaban sama sekali. Tadinya papa hendak menghampiri mbak Bina dan membawanya ke sini tapi gue melarangnya, biar gue aja yang pulang hari ini, meski harusnya gue baru boleh pulang besok pagi.
Toh gue udah merasa lebih baik, meski gak sebaik itu karena yang gue cari belum ketemu. Jadi mungkin gue akan menjadi jauh lebih baik ketika bertemu dengannya nanti.
Tadinya, ibu memaksa ikut gue ke apartment untuk merawat gue sampai pulih, tapi gue tolak, dengan alasan ada mbak Bina. Ibu sempat kesal juga sama isteri gue yang gak munculin batang hidungnya ke rumah sakit disaat suaminya ini baru aja mengalami kecelakaan, tapi gue bilang kalau mbak Bina punya alasan, dan kayaknya gue tau apa alasannya itu, hingga akhirnya ibu pun mengalah dan membiarkan gue pulang sendiri ke apart gue dengan janji kalau isteri gue beneran gak mau ngurus entah sibuk atau apapun aladannya, gue harus pulang ke rumah ayah dan ibu.
Sekarang gue udah di apart gue, gue dibuat terkejut ketika mendapati mbak Bina melamun sendirian di sofa dengan kaleng minuman beralkohol di atas meja.
Gue gak pernah melihat mbak Bina seberantakan ini apalagi sampai... minum.
"Mbak...." gue memanggilnya, mbak Bina menoleh, gue bahkan gak tau apakah sebelum gue memanggil dia sadar akan kehadiran gue atau nggak karena tatapannya sangat kosong.
"Bani?" Dia langsung berdiri, gue berjalan mendekat ke arahnya, hingga bisa gue lihat air matanya yang terjun membasahi pipinya yang memerah, mungkin efek dari minuman beralkohol tadi.
Saat gue sudah berdiri di hadapannya, tangan mbak Bina terulur menyentuh pipi gue.
"Kamu kemana aja mbak? Kenapa gak dateng ke rumah sakit?"
"Saya terlalu takut denger kabar yang buruk, Bani. Saya takut kalau kamu jadi korban kedua setelah om Danu yang celaka karena saya."
Gue menangkup pipinya, "Ngomong apa sih hey?"
"Persis setelah kejadian kamu, saya dapat pesan lagi dari nomor yang beda, dia nunjukin kalau ini memang kelakuan orang itu, dia sengaja celakain kamu, Bani. Sesuai ancamannya."
"Maafin saya, kamu jadi harus kena, saya gak tau salah saya apa sama orang itu tapi kalau dia sampai sejauh ini rasanya saya emang punya dosa besar sama dia."Tangan mbak Bina kini naik ke atas menyentuh perban di kepala gue, "Bani.... maafin saya ya?" Lirihnya.
"Bukan salah kamu, mbak."
"Tadi siang saya udah ngajuin buat penyelidikan kebakaran itu diberhentiin aja."
"Loh? Mbak jangan dong."
"Saya mau tau dia siapa, dia bilang mau nunjukin diri di depan saya kalau saya behentiin penyelidikan itu."
"Kalau penyelidikannya selesai dan dia ternyata gak munculin diri juga gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bina & Bani (Selesai)
FanfictionBina Maira Ranjani (27 tahun) "Lebih baik saya dianggap lesbi sama semua orang untuk selamanya dari pada harus nikah sama bocah kayak kamu, minimal lulus sarjana dulu deh." Bani Hanif Ashraf (22 tahun) "Mbak, saya juga masih punya pacar, kalau bukan...