Bina Maira Ranjani
Setelah Bani selesai bimbingan, sepertinya dia benar-benar akan membawa gue ke makam kakaknya karena sekarang kami mampir ke toko bunga dan dia meminta gue menunggunya di mobil. Sebenernya gue agak heran waktu lihat dia memilih toko bunga yang... lebih menjual bunga hias. Sependek pengetahuan gue kayaknya di makam itu ada deh tukang bunga yang khusus ziarah. Oh, atau Bani itu memang tipe orang memberi buket bunga ke makam? Jujur gue gak tau yang normal atau yang seharusnya gimana karena gue jarang ziarah.
Mungkin hampir 15 menit gue menunggu di mobil sampai Bani kembali dengan sebucket bunga daisy. Dia masuk ke dalam mobil, bukannya langsung jalan, Bani malah terdiam memandang bunga yang ia beli sebelum beralih menatap gue.
"Saya tanya sekali lagi, mbak mau kemana?"
"Gak tau. Katanya kamu mau ziarah? Ya ke sana aja kalau kamu mau."
"Saya kan nanya yang mbak mau, bukan yang saya mau. Coba pikirin dulu deh mau kemana."
Gue memicingkan mata mendengar suaranya yang jadi sewot dan maksa. Sambil berpikir gue menunduk, lalu melihat rambut gue sendiri yang tergerai menutupi dada, rambut warna pink gue yang udah warnannya udah luntur karena udah lama gak di retouch.
"Saya mau ganti warna rambut deh," ya memang coping mechanism gue ini ganti-ganti warna rambut kalau nggak potong rambut.
"Ke salon?"
"Iya."
"Mau ganti warna apa mbak?"
"Apa ya? Belum tau juga."
"Saya pengen lihat mbak rambutnya warna gelap."
Gue menatap Bani ketika dia menyatakan keinginannya atas rambut gue. Sejujurnya itu adalah hal yang baru. Bukan. Bukan rambut gelap yang baru untuk gue, melainkan mendengar saran seseorang untuk warna rambut gue, mendengar seseorang punya keinginan untuk melihat rambut gue berwarna sesuatu.
"Coklat? Hitam?"
"Hitam kecoklatan kayaknya bagus."
"Jelek ya warna terang begini?"
"Enggak. Bagus kok," gue mengerjapkan mata ketika dipuji begitu oleh Bani.
"Tapi... saya pengen lihat aja rambut mbak gelap.""B-begitu?"
"Iya, tapi terserah sih. Saya gak maksa."
"Ya udah, ayo ke makam kakak kamu dulu baru ke salon."
Bani malah menggeleng, "Nggak usah ke makam kakak saya, saya tadi gak serius."
"Lah? Itu bunganya?"
Mata gue membulat sekaligus dengan dahi yang berkerut ketika Bani malah menyodorkan buket bunga itu ke gue, "Bunganya buat Bina yang di sini."
***
Gue beneran gak ngerti Bani ini lagi kesambet apaan, kenapa tiba-tiba jadi bersikap manis kayak gini? Yang mencium gue itu gak termasuk ya! Tapi yang lain kayak ngajak gue jalan-jalan, beliin bunga, nurutin permintaan gue, dan dia sekarang beneran nemenin gue di salon yang mana kita udah lebih dari 1 jam di sini, Bani gak mengeluh sedikitpun dan asik main handphone sambil sesekali memperhatikan gue yang sedang diproses rambutnya untuk menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bina & Bani (Selesai)
FanfictionBina Maira Ranjani (27 tahun) "Lebih baik saya dianggap lesbi sama semua orang untuk selamanya dari pada harus nikah sama bocah kayak kamu, minimal lulus sarjana dulu deh." Bani Hanif Ashraf (22 tahun) "Mbak, saya juga masih punya pacar, kalau bukan...