Siapa Dia?

7 4 0
                                    

Saat setelah Lio memasuki kamarnya, ia berusaha untuk mencerna semua ucapan dari Papanya. Namun nihil, ia tak mendapatkan jawaban apapun selain apa yang dikatakan oleh Papanya barusan.

ia duduk di ujung ranjang kemudian ia merogoh saku celananya untuk mencari ponsel miliknya. Ia mencari nama seseorang di antara banyaknya nama-nama yang tertera di sana. Itu dia! Lio menemukannya.

Youra^^

/Send a picture
Gue butuh lo, Ra.
/Missed call
Ra?

Lio kembali menutup room chat dirinya dengan Youra, dan melempar ponselnya sembarang di atas kasur. Ia mengambil jaket kulit hitam miliknya yang tergantung di hook wall. Segera ia pergi dari kamarnya dan menuruni anak tangga yang terlihat bahwa Dhaffa dan juga Zhya sudah pergi dari rumahnya.

"Sekarang sudah sore, Nak. Mau ke mana?" tanya Mama yang melihat anaknya itu buru-buru pergi. Sedangkan Lio tak menghiraukan Mamanya dan pergi begitu saja tanpa menatap ataupun melirik ke arah Mamanya.

"Kamu mau ke mana?" Papanya ikut bertanya, yang tengah duduk santai di sofa dengan tangannya yang memegang ponsel, dan fokusnya tetap ke layar tersebut.

"Bukan urusan Papa!" jawab Lio dengan ketus.

Lantas Papa pun melirik ke arah anak semata wayangnya itu. "Apa kamu bilang?!" tanya Papa dengan tenang namun tersirat bentakan di dalamnya.

"Lio mau pergi," ucap Lio, yang kemudian membalikkan tubuhnya.

"Gak ada yang izinin kamu pergi!" Papa langsung tersulut emosi dengan sikap berontak dari anaknya.

"Lio izin mau pergi," ucap Lio lagi, kemudian ia melangkahkan kakinya menuju pintu depan rumah.

"Papa gak pernah ajarkan kamu dengan bersikap tidak sopan seperti tadi!" bentak Papa.

Lio lantas berhenti dari langkahnya, kemudian membalikkan tubuhnya kembali menghadap ke arah Papanya. "Lio gak akan pernah mau bergantung pada hidup Papa! Lio punya hidup Lio sendiri! Lio punya tujuan Lio sendiri! Dan perjodohan? Ini sudah di tahun 2021, Pah! Gak ada lagi yang namanya perjodohan!" Lio membentak Papa nya balik, ia sebelumnya tak pernah bersikap begini. Namun, dengan Papanya bersikap seenaknya pada dirinya atas masa depannya, ia tak ingin itu terjadi.

"LIO!" Mendengar apa yang diucapkan oleh anaknya itu, Bagas lantas berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah anaknya.

Mama yang melihat pertengkaran antara anak dan suaminya itu pun menghampiri Bagas dan menenangkan suaminya itu. Mama melirik ke arah Lio untuk memperbolehkan anaknya itu untuk pergi. Mau bagaimanapun Mama sayang keduanya, ia tak ingin jika anak dan suaminya ini menjadi tak sejalan.

Lio hanya diam saja menahan emosinya, ia tak ingin emosinya meledak saat itu juga. Mau bagaimanapun Papanya, pria itu tetaplah Papanya. Dia segera pergi dari kediaman tersebut dan tidak memperdulikan lagi teriakan-teriakan serta bentakan-bentakan dari Papanya.

"Udah, Pah. Udah," ucap Mama menenangkan Papa.

Lio segera menaiki motor miliknya, kemudian memakai helm full face dan menghidupkan mesin motor tersebut, pergi begitu saja yang tak tau ia akan pergi ke mana, meninggalkan halaman rumahnya.

Pikirannya kini benar-benar kacau. Ia tak habis pikir dengan arah jalan pikiran Papanya itu. Kalimat yang diucapkan oleh Papanya itu seolah-olah menjadi belenggu di dalam hatinya. Ia terus berfikir apa kesalahannya kali ini. Ia memang terlihat tidak sopan dengan apa yang sudah ia ucapkan untuk menolak perjodohan tersebut. Tapi bukankah itu alasan yang lumrah untuk diucapkan oleh seorang pelajar?

Lio kembali me-ngegas motornya itu mempercepat laju motor yang tengah ia kendarai. Lio menatap ke arah senja yang di mana matahari mulai menenggelamkan dirinya dan akan digantikan oleh bulan yang indah nan cantik menerangi gelapnya bumi di malam hari.

Bersamaan dengan hadirnya senja, rintik hujan turun membasahi bumi seolah-olah semesta mengetahui ada salah satu makhluk bumi yang tengah bersedih dan memendam emosi. Rintik hujan itu turun beriringan dengan suara deru motor Lio di tengah jalanan Cirebon, yang tak terlalu padat akan kendaraan lain, sehingga ia bisa mengebut dengan melampiaskan amarahnya sesuka hati.

Lio menepikan motornya di depan sebuah toko bunga yang ada di pinggir jalan. "Bu, bunga mawar merahnya satu tangkai," ucap Lio memesan pada penjual bunga tersebut.

Penjual bunga itu pun mengambil bunga yang di pesan Lio, yaitu bunga mawar merah. "Kembaliannya buat Ibu aja," ucap Lio setelah memberikan uang pada penjual bunga tersebut.

Setelahnya Lio kembali mengendarai motornya untuk pergi ke suatu tempat. 'Tempat Pemakaman Umum', terlihat dan terbaca dengan jelas di sana. Lio kembali mematikan mesin motornya dan melepas helm miliknya.

Ia melangkahkan kakinya tanpa ragu masuk ke dalam tempat pemakaman itu. Kakinya berjalan tanpa ragu, seolah-olah ia sudah hafal ke arah mana kakinya akan membawa raganya pergi.

"Hai, ketemu lagi sama gue," ucap Lio, kemudian ia berjongkok menatap ke arah batu nisan yang tertulis 'Deiji Amaranggana'.

"Gue bawain mawar merah lagi sesuai dengan permintaan lo." Terlihat manik mata Lio yang sudah memerah, air yang bening dari dalam matanya itu siap untuk terjun dan lolos begitu saja dari tempatnya. Namun Lio segera menengadahkan kepalanya seolah-olah ia tidak ingin air matanya itu mengalir.

Rintik hujan yang terus mengalir itu terus menemani Lio dan memeluknya dalam dinginnya udara kala itu. "Betah amat lo di sana." Lio kembali berucap setelah ia menetralkan kembali emosinya.

Entah ia tak bisa banyak bicara untuk saat ini. Ia hanya bisa terdiam menatap nama yang tertulis di dalam batu nisan yang tertancap dengan kokoh dihadapannya itu.

Beberapa menit Lio terdiam saja tanpa adanya sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. "Udah ya, gue temenin kali ini. Gue mau ke rumah calon pacar gue," ucapnya.

Lio bangun dari posisi sebelumnya yang berjongkok. Lio masih saja terus menatap ke arah gundukan tanah tersebut. "Lo pasti cemburu, 'kan gue udah mau punya pacar?" tanya Lio dengan bodohnya. Sudah jelas tidak akan menjawab pertanyaannya, yang ia ajak bicara saja sudah menyatu dengan tanah.

"Ya udah, gue pergi dulu ya, nanti bulan depan gue balik lagi." Lio akhirnya pergi dari sana dengan lunglai.
***

Youra mengernyitkan keningnya. "Lio telepon gue?" gumamnya.

Kemudian ia kembali menelepon Lio, namun panggilannya tak kunjung di jawab. Ia berkali-kali tanpa berhenti sedetik pun untuk terus menelepon Lio. Namun setelah puluhan kali ia meneleponnya, akhirnya sambungan tersebut terjawab.

"Halo Sayang, kenapa?" tanya seseorang dari seberang sana.

"Halo Ma, ini Youra. Lio nya ada gak Ma?" tanya Youra.

"Loh? Bukannya Lio mau pergi ke rumah kamu, ya?" Mama malah bertanya balik.

"Oh gitu ya, mungkin dia ada berhenti dulu di jalan, soalnya ini lagi ujan," ucap Youra untuk menenangkan Mama. Pasalnya ia mendengar ada tersirat rasa khawatir pada apa yang diucapkan Mama barusan.

"Ya sudah kalo gitu Youra tutup teleponnya ya, Ma," ucap Youra.

"Iya, Nak." Setelah mendengar jawaban dari Mama, Youra lantas menutup panggilan tersebut.

"Duhh, dia ke mana sih ujan-ujan begini malah kelayapan," gumam Youra dengan khawatir.

Terlihat ia terus mondar-mandir memikirkan apa yang disampaikan oleh Lio di room chat mereka, juga memikirkan ke mana perginya Lio malam-malam begini.

It's Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang