Dejafu

10 3 0
                                    

Setelah apa yang tadi siang baru saja Lio tahu akan pernyataan yang mengejutkan itu, kini ia tengah berada di halaman belakang rumah nya. Ia duduk pada salah satu ayunan yang ada di sana. Ia menatap dengan lesu dan sendu, pada satu ayunan lagi yang tepat berada di samping kirinya.

"Gue gak tau harus apa, Ji. Gue sudah kehilangan arah kali ini. Gue benar-benar pengin nyerah aja." Lio bermonolog pada dirinya sendiri.

Ia menundukkan kepalanya. Kini ia malu, yang benar-benar sangat malu. Dengan apa yang sudah Papa nya lakukan pada Deiji, ia benar-benar tak bisa lagi menemui Deiji di rumah terakhir itu.
***

Suara gelak tawa terdengar nyaring di telinga Lio. Ia kembali mengangkat kepalanya melihat dengan mata kepalanya sendiri, akan apa yang telah ia lihat di depannya.

Ia tersenyum, saat ia melihat dua anak kecil yang sedang berlari-lari, saling mengejar satu sama lain, dengan tawa nya yang ceria. Mereka berdua, anak perempuan dan laki-laki. Mereka berdua masih berusia sekitar lima sampai enam tahun.

Anak laki-laki yang memakai kaus berwarna biru, dengan celana pendek nya yang berwarna hitam. Sedangkan anak perempuan itu mengenakan baju blouse berwarna merah muda, dengan rok pendek nya yang berwarna putih.

Anak perempuan itu tiba-tiba saja jatuh, kemudian anak laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya, untuk membantu anak perempuan itu. "Eji, ndak-papa?" Anak laki-laki itu berusaha untuk meraih tangan perempuan tersebut.

Anak perempuan itu menggeleng. "Eji ndak-papa, tapi tangan Eji atit. Nih." Anak perempuan itu ternyata Deiji, ia menunjukkan luka kecilnya yang ada di telapak tangannya yang kecil itu, pada anak laki-laki tersebut.

Anak laki-laki itu, justru kembali menarik tangannya, untuk menutupi matanya dengan telapak tangannya. "Lio atut," ucapnya, dengan terus menggeleng-gelengkan kepalanya.

Deiji kecil yang melihat Lio ketakutan pun, ia menarik tangan Lio kecil dengan perlahan. "Lio ndak usah atut." Deiji tersenyum dengan menampilkan gigi-gigi nya yang masih kecil itu, pada Lio kecil.

Lio kecil pun, perlahan membuka matanya melihat senyuman manis dari wajah Deiji kecil. "Lio ndak usah atut. Eji gak kenapa-kenapa, kok." Deiji kecil terus mengusap-usap kedua tangannya itu, pada baju yang dikenakannya.

"Ayok main agi." Deiji kecil menarik tangan Lio kecil, untuk ikut dengannya kembali bermain. "Nanti, kalo Lio sudah besal, Lio jangan atut agi, ya!"

Deiji kecil meletakkan tangan Lio kecil pada dada milik Lio kecil. "Di cini. Lio halus yakin, kalo Eji ada di cini. Bial Lio ndak atut agi." Lio kecil hanya diam, memperhatikan apa yang dilakukan oleh Deiji kecil dan apa yang diucapkan oleh Deiji kecil padanya.

Lio kecil mengangguk, kemudian saling tersenyum satu sama lain. "Eji ada di cini." Kemudian mereka berdua kembali saling kejar-kejaran, dengan tawa mereka berdua yang saling bersahutan.
***

Perlahan, sedikit cuplikan dari memori kenangan Lio dan Deiji semasa kecil itu, kembali hilang dari pandangan Lio. Ia kembali tersenyum, dengan cuplikan itu yang tiba-tiba saja kembali hadir di sana.

"Gue harus gimana, Ji?" Lio meletakkan tangannya sendiri pada dadanya. "Deiji ada di sini."

"Loh, Sayang? Kamu lagi apa di sini?" Mama tiba-tiba saja sudah ada di depan Lio. "Eh, enggak, Mah. Lio cuma pengen di sini aja." Mama pun hanya mengangguk saja, kemudian duduk di ayunan yang tepat samping kiri Lio.

Lio menatap ke arah Mamanya. "Mah, kalo kita dalam keadaan yang bingung, resah, galau. Itu kita lebih baik ikutin apa kata hati, atau pikiran?"

Mama balik menatap Lio. "Ikuti apa kata hati kamu, Nak. Mama memang gak tau apa yang kamu maksud itu. Tapi, Mama selama ini selalu ikutin apa kata hati Mama. Tapi, tetap pilihan ada di kamu, dan kamu harus pertimbangkan hal itu dengan baik, ya. Jangan sampai kamu menyakiti orang lain, dengan keputusanmu itu." Mama tersenyum setelah mengucapkan tersebut.

Kemudian, Mama bangun dari duduknya. "Yuk masuk, udah mau maghrib." Lio pun mengangguk, menjawab ajakan dari Mamanya. "Iya, Ma. Nanti Lio nyusul." Mama pun pergi meninggalkan Lio sendiri di sana.

Setelah Lio bergelut dengan isi pikiran, dan juga hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti apa kata hatinya. Ia segera berlari menuju perpustakaan. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Papanya—Bagas, untuk mencari tahu sesuatu di dalamnya.

Lio mencari-cari selembar kertas di sana. Ia membuka setiap laci dan juga lemari arsip di sekitar sana. Ia juga membuka setiap lembar buku yang ada di atas meja dan di dalam laci.

Ia memutar otaknya, memikirkan di mana Papa nya itu meletakkan kertas tersebut. Namun, isi dari otaknya itu memberikan sebuah ide yang cemerlang.

Ia menghidupkan komputer yang ada di atas meja kerja Papa nya itu. Setelah ia hidupkan, ia membuka pada salah satu folder di sana. Folder tersebut bertuliskan tahun '2018', dan tanpa basa-basi lagi, Lio langsung membukanya untuk mencari sesuatu di sana.

Ia melihat ada satu gambar bukti transfer dengan jumlah uang yang cukup banyak. Ia membacanya, dan melihat siapa penerima dari uang tersebut. "Dhaffa Haidar?" Lio langsung mengernyitkan dahinya, saat ia membaca nama tersebut.

Lio segera membuka kamera pada ponselnya, kemudian ia memotret bukti transfer itu dengan cepat. Karena dari arah luar ruang kerja Papa nya itu, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Ia buru-buru menutup kembali folder tersebut.

"Lagi apa kamu di sini?" Lio menghembuskan nafas leganya. Ia tersenyum ke arah Papanya. "Lio mau pinjam mouse komputer punya  Papa, soalnya punya Lio ketinggalan di rumah Barra." Lio beralasan, dengan mengatakan hal tersebut.

"Ya sudah ambil sana mouse nya. Sudah di pakai, kembaliin lagi mouse nya." Lio pun mengangguk, kemudian mengambil mouse komputer milik Papanya, saat sebelumnya ia mencabut terlebih dahulu sambungan kabel mouse tersebut, pada komputer.

Setelah melancarkan aksinya, ia seger keluar dari ruangan tersebut. "Hampir aja ketauan," gumam Lio, dengan tangannya yang mengusap-usap dadanya itu, diikuti oleh hembusan nafas leganya.

Lio keluar dari dalam perpustakaan, dengan tangannya yang masih memegang mouse komputer di tangan kanannya. "Buat apa coba gue pinjam mouse ini. Tapi gak-papa lah, lagian nanti juga bakal ke pakai, ya walaupun gak sekarang." Ia merasakan dirinya itu bodoh dan konyol, namun dengan hal bodoh dan konyolnya itu, dia bisa mendapatkan satu bukti. "Semoga aja foto tadi membantu."

It's Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang