PROLOG

19 2 1
                                    

Kepergian mobil hitam itu menandakan akhir dari perdebatan di siang hari diawal musim panas itu. Aqsa, anak lelaki berusia 13 tahun itu tertunduk ditempatnya, menatap pada surat yang diberikan kakek padanya sebelum pergi tadi. Surat yang menyatakan jika Ayahnya akan menyerahkan hak asuh mereka pada kakek dan memulai kehidupan baru bersama istri barunya di Inggris.

Aqsa menggigit bibirnya dalam, pandangannya mengarah pada dedauan kering yang jatuh dari pepohonan rindang yang ditanam disepanjang halaman rumah sakit.

Liburan musim panas di Inggris sana akan segera berakhir, begitu pula dengan kisah keluarga Indah yang sudah mereka bangun selama ini. Langit biru yang cerah mengingatkannya pada hari-hari indah sebelum kematian Ibunya.

"Tuan muda, ayo kembali ke kamar dulu, anda masih harus istirahat. Sore ini Tuan muda Yagis akan datang menemani Anda. Dan untuk sementara siang ini Bi Areng akan mengurus Anda" Ucap Pria berjas itu awalnya ragu, melihat air muka Anak itu, Ia pasti merasa terluka, tapi sudah menjadi bagian dari tugasnya untuk memastikan keamanan dan kenyamanan Cucu Tuan-nya.

Aqsa menggeleng pelan, memberi tanda bahwa Ia masih ingin duduk ditaman ini. Jiro yang mengerti memilih mundur dan mengawasi tuannya dari kejauhan saja

Aqsa bangkit dari duduknya berjalan dengan sedikit terpincang menyusuri jalan setapak disisi lain rumah sakit. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat, menahan agar tak ada satu tetes pun air mata yang jatuh.

"Menangis itu adalah hal yang wajar, Jika Kamu ingin menangis, maka menangislah. Ibu berjanji akan menunggu sampai kamu merasa baikan" memori akan ucapan-ucapan manis Ibunya terus berputar dalam ingatannya.

Hatinya bergejolak hebat, Ia merasakan sebuah kekosongan yang tidak pernah Ia rasakan sebelumnya.

"Ibu" bibir mungilnya bergetar hebat, memanggil Ibunya lirih. Nafasnya berderu kencang, Dadanya terasa sakit dan sesak. Seperti ruhnya akan tercabut dari jasadnya.

Kematian ibunya belum genap 40 hari, dan selama itu pula Ia tak pernah sekalipun bertemu dengan Ayahnya. Ada sedikit rasa sakit didalam hatinya, bagaimana mungkin, Ayah yang selalu Ia agung-agungkan pada akhirnya memilih hidup dengan wanita lain dan meninggalkan Ia bersama Yagis disini.

Rasa sakit dikakinya yang baru diperban semakin terasa, Aqsa memutuskan untuk duduk sebentar dikursi taman, memijat kakinya yang mendadak terasa nyeri. ketika suara seseorang tiba-tiba saja mengejutkannya.

"Psssttt.. kamu sedang nangis ya? Nangis saja gapapa kok, jangan ditahan"

Suara itu terdengar kecil bahkan setengah berbisik, tetapi terasa dekat, Aqsa menoleh kesampingnya, mendapati Gadis yang cukup familiar tengah duduk dengan pakaian rumah sakit lengkap dan wajah yang begitu pucat disampingnya.

Ia berteriak cukup kencang, namun segera mengakhirinya setelah menyadari bahwa beberapa pasien kini tengah menatap bingung kearahnya.

Ia memutar ingatannya pada pagi tadi, ketika seorang Gadis penghuni kamar rawat disebelahnya melintas bersama seorang perawat. Gadis yang berjalan dengan tongkat, wajahnya yang pucat tak menutupi fakta bahwa Ia sangat cantik. Matanya, besar dan bulat, serta pipi layaknya bakpao ditambah satu lesung pipi di pipi kanannya, begitu lucu jika dilihat dari sudut pandangnya. Mengingatkannya pada kecantikan yang dimiliki Almarhumah Ibunya. Kecantikan yang seperti cahaya rembulan. Dan gadis kecil itu sekarang duduk persis disampingnya.

"Ti. tidak, Aku tidak menangis!" ucap Aqsa segera setelah sadar dari lamunannya.

Gadis kecil itu tertawa pelan.

"Meski tidak bisa melihat, aku bisa mendengar suara tangisanmu yang tertahan. Kau pasti baru saja mengalami masalah yang berat ya?" Gadis itu bertanya lagi. Meski Ia terlihat lebih muda darinya, gaya bicara gadis kecil itu tidak sesuai dengan umurnya.

Aqsa mengayunkan tangannya ke depan wajah Gadis itu, dan benar saja tidak ada reaksi apapun, matanya tak merespon gerakannya.

"Tidak, hanya masalah kecil antara Aku dan Ayahku " Aqsa membalas singkat. Suaranya terdengar parau akibat hidung yang masih tersumbat.

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan dan kemudian tersenyum kecil. Seperti sadar akan sesuatu yang Aqsa sembunyikan.  Ia memutar tubuhnya, mengarahkan tangannya pelan, seperti orang yang meraba-raba angin ke arah Aqsa.

Aqsa yang terkejut masih tidak bergeming dari posisinya, sampai kemudian tangan mungil itu berhasil menyentuh pipinya.

"Hah... kamu bohong. Itu pipimu basah. Pasti karena air mata kan?"

Diluar dugaan, Aqsa yang terkejut untuk yang kedua kalinya, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Gadis itu meraba pipinya pelan. Sebelum akhirnya buru-buru melepaskannya dengan raut wajah datar.

"Ma..Maaf jika Aku tidak sopan tadi. Tapi, Kata Mamaku menangis itu wajar. Anak Laki-laki juga boleh menangis. Tapi, jangan keterusan nanti air matamu habis" ia bercerita dengan ekspresi wajah yang berubah begitu cepat, kali ini Ia tersenyum hingga lesung pipinya terlihat lebih jelas.

"Ini, pakai sapu tangan ini untuk menyeka air matamu" Gadis itu menyodorkan sebuah sapu tangan, sebelum memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Tangan mungilnya sedikit kebingungan, menerka dimana posisi tangan Aqsa.

Melihat reaksi gadis kecil itu, Aqsa meraih sapu tangan miliknya ragu.

"Maaf sudah mengganggu waktumu" ucapnya sebelum akhirnya berjalan meninggalkan Aqsa.

Aqsa tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari gadis kecil itu, Ia berjalan sedikit tertatih dengan tongkat, sementara itu tak jauh dari sana, diujung jalan setapak seorang wanita berpakaian perawat datang menjemput Gadis itu.

"Astagaa" Aqsa menepuk jidatnya pelan, karena terlalu fokus pada masalahnya, tanpa sadar Ia malah duduk dan menangis dihadapan seorang anak perempuan.

Pandangan Aqsa kemudian beralih pada sapu tangan pemberian gadis itu. Sapu tangan berwarna biru muda, dengan jahitan benang biru tua cukup kontras, membentuk pola bergambar mawar biru (blue rose).

Dalam beberapa budaya, mawar biru melambangkan kedamaian dan ketenangan, menjadikannya pilihan yang tepat untuk menyampaikan perasaan damai dan harmonis. Mawar biru bisa menjadi simbol ketenangan di tengah kehidupan yang sering kali penuh dengan kegaduhan dan kekacauan.

"Alina J. Amardiva"

Aqsa mengeja nama itu, nama yang tercetak jelas dibagian paling tersembunyi disapu tangan itu.

Jika ada sempat untuk bertemu lagi nanti, Ia berjanji akan mengembalikan sapu tangan ini pada pemiliknya.

The OddloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang