Tentang Jiro ; 25

444 58 14
                                    

25 ; Tentang Diagnosa

{Selamat Membaca}
Jangan lupa vote & comment
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ


"Udah siap semua?" tanya Tiara, belakangan ini ia selalu mengunjungi Jiro dan menemaninya di Rumah Sakit. Bahkan tak ragu, Tiara membantu dengan sigap saat Jiro harus ke toilet atau kebutuhan lainnya.

"Udah bu, kalau begitu saya duluan buat simpen barang den Jiro," ucap Bi Lina yang diangguki Tiara.

Jiro keluar dari toilet setelah berganti pakaian. "Makasih tan, maaf beberapa hari ini Jiro ngerepotin."

Tiara mengusap surai Jiro, "ga masalah, langsung pulang?"

"Jiro harus ke ruangan dokter Ren dulu, katanya ada yang mau dokter sampein," kata Jiro.

"Mau ditemenin?" tawar Tiara.

Jiro menggeleng, "tante tunggu di mobil aja."

Jiro dan Tiara berjalan bersama di koridor rumah sakit, lalu terpisah saat Jiro masuk ke ruangan dokter Ren dan Tiara pergi ke parkiran.

Jiro menarik napasnya dalam-dalam sebelum masuk ke ruangan dokter muda tersebut.

"Dok..."

Dokter lelaki itu tersenyum kecil ke arah Jiro. "Silahkan duduk, Jiro."



Tiara melirik ke arah Jiro yang sepertinya lebih memilih memperhatikan gedung tinggi sepanjang jalan. Setelah bertemu dengan dokter, Tiara merasa ada yang berbeda dengan Jiro. Entah apa tapi yang pasti ia merasa Jiro menyembunyikan sesuatu darinya, mungkin mereka belum sedekat itu. Karena ia juga orang baru di hidup Jiro, meski sudah lama memiliki hubungan dengan ayahnya.

"Jiro mau mampir dulu? Kemana gitu?"

Jiro menggeleng, "ada materi yang harus Jiro pelajarin. Besok mulai sekolah lagi, Jiro gamau ketinggalan."

Tiara mengangguk kecil, setelah percakapan singkat itu ia tidak bertanya apapun lagi.

"Den Jiro, ada telpon dari Tuan Tara," ujar Bi Lina sembari memberikan ponsel pada Jiro.

"Jiro, om udah kompromi sama pak Hendra. Sampai kamu benar-benar pulih, kamu istirahat dulu buat pemotretan."

"Oke, makasih om..."

"Yaudah, take your time!"

Jiro hanya berdeham untuk membalas ucapan Tara. Setelahnya panggilan terputus dan Jiro mengembalikan ponselnya pada Bi Lina.

Sesampainya di pekarang rumah, Jiro turun dari mobil dan langsung pergi ke kamarnya.

Agha mengerutkan dahinya melihat sikap dingin putranya itu. Bahkan tatapannya terkesan kosong.

"Aku kira kamu masih di kantor," ujar Tiara.

Agha menggeleng, "ga ada rapat penting hari ini, mau istirahat aja."

"Tumben, biasanya kamu manusia paling gila kerja," cibir Tiara.

Agha terkekeh, "kamu cemburu sama kerjaan aku, hm?" Pria itu mengusap perut Tiara. "Gimana keadaannya?"

Sementara itu, Jiro terduduk di samping kasurnya. Ucapan dokter Ren perihal kondisinya, masih teringat di otaknya. Jiro meremas kertas diagnosa tersebut.

"Kanker Paru-paru stadium satu, ada dua solusi untuk itu operasi atau kemoterapi sambil menerapkan gaya hidup sehat."

Jiro mendengus kasar, lalu terkekeh. "Ternyata gue emang ditakdirin selalu sama obat dan inhaler."

Tentang JiroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang