Tentang Jiro ; 39

631 62 16
                                    

39 ; Pertengkaran Papa dan Opa

{Selamat Membaca}
Jangan lupa vote & comment
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

"Jiro!"

Jiro menoleh ke arah sang kakek sembari mengerjapkan matanya, "iya?"

"Kita udah sampe," ujar Arga.

"O-oh iya," balas Jiro, ia membuka pintu mobil dan berniat mengambil tas miliknya di bagasi.

"Tasnya biar pak Heri yang bawa aja den," ucap Bi Lina.

Jiro mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah duluan. Sedangkan itu, Arga dan Bi Lina dibuat heran dengan sikap Jiro yang terasa kosong? Karena selama di perjalanan Jiro hanya melamun menatap jalanan dan responnya saat menjawab ucapan sedikit lambat.

"Nanti saya coba bicara sama dia tuan," kata Bi Lina, menghalau kekhawatiran dari Arga tentang Jiro.

"Terimakasih Bi, saya tahu Jiro bisa lebih nyaman bercerita dengan bibi," setelah mengatakan itu Arga masuk ke dalam rumah.

Bi Lina menghela napasnya, "saya minta maaf den..."


Arga membuka pintu kamar Jiro, ia tersenyum kecil melihat Jiro yang tertidur dengan nyenyak. "Capek ya? Makasih ya karena udah mau bertahan cucunya Opa," ucap Arga sambil mengusap kepala Jiro dengan lembut. 

Ia menelisik ke setiap sudut kamar, langkahnya mendekat ke arah meja belajar Jiro. Senyumnya merekah melihat foto yang tergantung di atas meja belajar.

Opa - Oma - Jiro -Papa - Mama

Suatu hari kita foto keluarga lagi ya? Tapi jangan karena formalitas publik, tapi harus karena mau sendiri. ^_^

Arga tersenyum kecil melihat foto tersebut, foto itu diambil ketika Jiro berusia 12 tahun. Saat itu foto itu diambil untuk keperluan majalah, ia ingat betul ketika Jiro meminta Tara untuk membawa salah satu foto untuk ia simpan.

Terkadang Arga selalu menyesali kelalaiannya sebagai orangtua yang baik untuk Agha, meski begitu ia tidak pernah menyesali kehadiran Jiro sebagai cucunya. Nasi sudah menjadi bubur kala itu, kesalahan fatal itu pernah membawa kekacauan untuk keluarganya. Namun kelahiran Jiro merubah segalanya, Arga sadar betul keputusan Lidya untuk menghalangi Anna yang ingin menggugurkan kandungannya adalah keputusan yang tepat. 

"Lidya ... hari ini, pertama kalinya Jiro melakukan kemoterapi. Sebenarnya aku tidak tega, tapi ini untuk kebaikannya," Arga berucap pada foto sang istri yang terpajang di meja belajar Jiro. Ia menoleh ke arah Jiro sejenak, "aku tidak tahu seberapa besar kekecewaannya, kamu benar ... anak itu terlalu pintar menyembunyikan lukanya dengan bermain ekspresinya.  Tapi matanya ga bisa bohong, he was hurt but he kept it to himself.

"Dia terbukanya cuman sama kamu, Lidya," Arga mengusap foto itu. 

"Udah dong, kamu ga usah pikirin hal itu lagi," ujar Agha. Sejak Tiara tahu tentang perdebatan minggu lalu, wanita itu jadi sering melamun. Agha tidak ingin hal itu membuat Tiara stress yang justru akan berakhir imbas pada janinnya.

"Kok kamu bisa semudah itu bilang kaya gitu ke aku? Padahal kamu ayahnya loh ... yang harusnya kamu pikirin bukan aku tapi anak kamu, Jiro. Dia pasti kecewa setelah tahu hal itu, tapi kalian bersikap biasa aja? Apa setelah melakukan kesalahan dulu bukan cuman kehilangan akal sehat tapi hati nurani kalian juga ikut hilang," Tiara benar-benar tidak habis pikir dengan Agha dan Anna. Ia tahu dirinya juga bersalah, tetapi setidaknya ia masih merasa kasihan pada Jiro.

Tentang JiroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang