Bab 4

109 8 0
                                    

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

FLASHBACK

Bara baru saja turun dari motor, meninggalkan tas sekolahnya di teras rumah dan langsung berlari menghampiri Lila di rumahnya sebab tadi Lila tidak hadir di sekolah tanpa  keterangan, Alfa.

Ia tak menghiraukan teriakan Ibunya yang masih terdengar sampai kakinya sudah berada di depan gerbang rumah Lila. Bara tersenyum sambil menatap secarik kertas undangan ulang tahun buatan tangannya sendiri.

Berniat memberikan undangan spesial itu untuk Lila, tapi diurungkan karena gerbang dan pintu utama didalam sana keduanya terikat gembok besi. "Digembok?" gumamnya.

Bara pulang ke rumah dengan sedikit kecewa, menggenggam erat undangan itu untuk meredam emosinya.

"Enggak ada?" Pertanyaan langsung terlontar dari Ibu Bara yang ternyata menunggunya di depan pintu.

Bara hanya menggeleng. "Sabar, coba nanti sore Mama hubungin Ibu Lila. Siapa tau cuma ke rumah Neneknya, besok sudah weekend 'kan, kalian juga libur. Mungkin dia berangkat lebih awal," ucap Jessica—Ibu Bara.

"Masuk dulu trus ganti baju," lanjutnya.

Di tempat lain.

"Udah jangan nangis lagi. Kalo handphone Mama enggak ketemu berarti bukan rezeki kita."

"Tapi nomor Mama Bara ada di handphone Mama, nanti Bara gimana? Lila belum bilang kalo kita mau pergi," ucap Lila yang masih sesenggukan.

"Nanti Ayah bantu cari tau nomor Tante Jessica dan Om Akbar lagi, ya. Kita perginya enggak lama kok, Mama kamu cuma berobat sebentar, Nak." Sean-ayah Lila berjanji.

"Kalo Mama sembuh kita pulang?"

"Pasti dong, mungkin hari empat hari kita pulang bertiga. Obat Mama ada di luar kota, sayang. Jadi harus ambil dulu. Setelah ambil obat dan Mama diperiksa dokter, kita bisa pulang bertiga lagi, kamu juga harus sekolah, 'kan." Clarisa ikut berjanji.

Lila mengangguk dan sedikit tenang, ternyata kepergian ini tidak akan lama. Hanya empat hari.

Ya, empat hari. Namun—

—Empat tahun sudah berlalu.

Memang ya, terkadang janji seperti obat penenang, diucapkan untuk sekedar menenangkan bukan mengobati sepenuhnya.

Seperti janji Sean dan Clarisa yang masih terkenang di benak Lila.

"Ini empat tahun bukan empat hari, Ma. Mama bilang empat hari kita pulang bertiga, tapi ini empat tahun, Ma. Mama memang ikut pulang sama Lila dan Ayah bertiga, tapi tidak duduk disamping kami, kursi pesawat ini empuk, tapi kenapa Mama milih tidur di bagasi?" gumam Lila sambil menatap kosong keluar jendela dengan air mata yang masih mengalir deras.

"Lila sayang," panggil Sean.

"Kenapa?" lanjutnya sambil tersenyum.

Senyum yang tidak Lila harapkan. Ia tahu itu senyum palsu. Biasanya senyum Sean mampu menular pada Lila menebarkan rasa senang, tapi saat ini senyum Ayahnya membalut raut muka yang tidak bisa menipu.

Itu sebuah luka.

"Tidak," jawab Lila sambil menggeleng.

"Lila tidak sendiri, masih ada Ayah."

Lila tersenyum dan menghambur ke dalam pelukan Sean. Akhirnya air mata gengsi itu keluar sederas-derasnya sekarang.

"Ayah juga tidak sendiri, ada Lila disini," ucapnya yang masih sesenggukan.

FLASHBACK OFF

Zalfa tidak bisa tidur jika kamarnya gelap gulita tidak ada penerangan sama sekali, lilin pun tidak mempan. Malam ini rumah Zalfa mati listrik, dan seperti biasa pasti tidak ada sinyal seluler.

Jam dinding sudah menunjukkan setengah dua dini hari, biasanya Zalfa sudah terlelap di dunia mimpi. Hari ini tidak karena mati listrik tadi sejak jam tujuh malam. Sebenarnya Zalfa tidak takut gelap, hanya ia tidak bisa tidur saat gelap. Baterai ponsel Zalfa tersisa belasan persen. Memang awet, tapi ia simpan untuk berjaga siapa tahu mati listrik ini menjadi lebih lama.

Gabut.

Zalfa sedikit membenci situasi seperti ini. Gelap dan sunyi, hanya ia seorang. Pikirannya berkelana entah sampai mana. Memori manis, pahit dan luka masa lalu tengah berputar mengisi pikiran Zalfa. Sungguh, malam ini Zalfa tidak mau mengingat luka yang ia terima empat tahun lalu saat kelas tujuh SMP yang membuatnya sedikit trauma dan memutuskan untuk home schooling itu.

"Ayolah jangan mikir itu dong otak. Mikir yang happy aja," gumamnya.

Zalfa memutar kembali otaknya mencari titik yang membuatnya senang dalam memori masa kecilnya.

"Bara," gumam Zalfa.

"Oh iya, gue kan punya temen kecil. Dimana ya dia sekarang? Rumah lama gue sama dia aja udah jadi tanah kosong," Zalfa menggerutu saat mengingat beberapa bulan lalu ia sempat melewati daerah masa kecilnya yang sudah berubah wujud.

"Aduh, ruwet banget otak gue. Wujudnya Bara sekarang aja gue gak tau, nama panjangnya aja lupa. Terus emang dia inget gue? Tapi masih hidup enggak, ya?" ucapnya.

Zalfa menatap langit-langit kamarnya yang minim dengan penerangan. Tiba-tiba saja ia teringat kenangan masa kecilnya dimana ia dan teman masa kecilnya tertawa tanpa beban dan bahkan selalu berjanji untuk selalu bersama. Tanpa sadar Zalfa tersenyum tipis dan mengangkat tangannya seolah ingin menggapai langit-langit, lebih tepatnya bayangan kenangan masa kecilnya.

“Bara, Lila kangen. Bara kangen sama Lila juga enggak, ya?” tanya Zalfa dengan nada lirih.

Zalfa menutup matanya dan kemudian tanpa sadar teringat bagaimana detik-detik ia menyaksikan Ibunya yang tersenyum menjelang ujung kehidupannya. Wanita yang selalu menjadi penyemangat bagi Zalfa juga sang ayah itu bahkan di akhir hayatnya tak mengeluh kesakitan, ia tersenyum.

Sentuhan Clarissa terasa begitu nyata dalam bayangan Zalfa. Bagaimana wanita itu tersenyum dengan wajah pucatnya dan kemudian menggenggam lembut tangan Zalfa. Seolah mencoba memberinya kekuatan.

Tanpa sadar bulir air mata mengalir dari sudut matanya. Zalfa menutup mulutnya dengan tangannya dan perlahan terisak dalam diam. Ia menahan suaranya karena tak ingin terdengar begitu lemah. Ia sudah berjanji kepada Clarissa agar ia akan menjadi kuat. Zalfa ingin sekuat mendiang ibunya. Ia ingin sekuat dan secantik Clarissa. Ia ingin menjadi sumber kekuatan bagi Sean, satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang.

“Ma, Lila kangen ....”

Isakan lirih itu perlahan mulai berubah menjadi suara tangis yang menyedihkan. Bahkan jika Sean mungkin mendengar betapa rapuhnya sang anak, ia mungkin akan semakin menyalahkan dirinya.

Zalfa mencoba membayangkan kenangan indah, tapi percuma saja. Setiap kali ia mencoba untuk membayangkan kenangan indah mana saja, selalu saja rasanya hatinya tercubit. Kenangan bersama sang ibu yang awalnya indah tiba-tiba berubah muram karena ia sadar bahwa ia takkan lagi bisa melihat sang ibu. Kenangan indah bersama teman masa kecilnya juga membuat Zalfa meringis kecil karena ia tahu ia takkan bisa menemukan temannya itu lagi.

Semuanya pergi meninggalkan dirinya. Itulah yang Zalfa tanamkan ke dalam kepalanya. Ibunya dan teman masa kecilnya. Mereka meninggalkan dirinya dalam kerapuhan.

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

• •✠•❀ Bab 4
• •✠•❀ ditulis oleh Novaamhr dan girlRin

[04] Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang