Bab 19

89 8 1
                                    

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

Bara di toilet mengerang kesal. Ia memaki dirinya sendiri betapa cerobohnya dirinya. Mengapa dia bisa-bisanya malah mengatakan di depan Zalfa kalau Zalfa itu cantik? Apa ia sudah gila? Apalagi belum banyak yang tahu kalau ia sudah putus dari Kiara. Bisa dirundung murid-murid si Zalfa dan disebut merebut pacar orang.

Bara membasuh wajahnya dan kemudian mengeringkan wajahnya dengan tissue yang ada di depan cermin toilet. Saat ia keluar dari toilet, ia tak sengaja bertemu dengan temannya Kiara, Anya. Gadis itu menatap Bara dengan tatapan tajam.

"Maksud lo apaan mutusin Kiara gitu aja, Bar?!" bentak Anya.

Bara menatap Anya dengan tatapan tajam. "Maksud lo gue harus pertahanin cewek yang selingkuhin gue? Gitu? Mikir, Nya. Gue juga manusia. Lo kira gue enggak sakit hati diduain gitu aja?" balasnya tak kalah.

"Seenggaknya lo dengerin penjelasannya Kiara dulu, Bar. Jangan langsung nelen berita mentah-mentah gitu aja. Bisa aja itu memang salah lo kenapa Kiara sampe nyaman ke yang lain. Apa selama ini lo treat dia kayak cowok treat pacarnya? Enggak, 'kan? Lo selalu sibuk sama urusan lo sendiri sampe Kiara enggak lo perhatiin. Wajar dia nyaman ke yang lain karna lo malah cuek ke dia!"

Bara tertawa hambar. "Wah? Jadi, gue yang salah di sini? Nya, gue korban di sini! Korbannya, bangsat! Lo kalo di posisi gue bakal gimana, ha?! Diem aja diselingkuhin gitu? Otak lo dipake, goblok!"

"Ya, otak lo dipake, goblok! Kiara sakit gara-gara kepikiran lo. Dia putusin sama Irfan gara-gara lo! Dia hancur dan lo malah seneng-seneng di sekolah sama cewek perebut itu. Laki enggak sih?!" balas Anya.

Bara mengepalkan tangannya mencoba menahan emosi. Entah mengapa ia geram ketika Anya menyebut Zalfa dengan sebutan 'cewek perebut' padahal di sini jelas-jelas kesalahannya Kiara.

"Sebut dia gitu lagi, gue pastiin lo nyesel." Bara mengancam. Anya tak takut. "Zalfa tuh cewek pereb—ugh!" Bara tak membiarkan Anya menyelesaikan ucapannya karena ia langsung mencekik leher gadis itu hingga Anya kesulitan berbicara.

"Woi! Bar, lo apain anak orang?! Woi, istighfar, cuy! Mati ntar anak orang!" seru Bayu. Ia dan Reno menyusul ke toilet karena memang ingin buang air kecil, tapi begitu tiba di dekat pintu malah mendapati sosok Bara sedang mencekik Anya.

"Ugh! Uhhuk!" Gadis itu terbatuk-batuk begitu Reno berhasil membuat Bara melepaskan Anya.

Bara menatap Anya dengan tatapan tajam. "Ayo. Gue tantang lo sebut dia gitu lagi. Kali ini gue pastiin bakal gue patahin tuh leher!" ucap Bara kepalang emosi.

Anya menatapnya dengan tatapan memerah antara marah dan menahan tangis. "Cowok banci tau enggak yang lain tangan sama cewek!" ucap Anya.

"Dan lo! Cewek goblok yang kerjanya ngebelain temen yang salah dan malah tutup mata sama semua kesalahan temen lo. Apalagi lo malah nyalahin orang lain atas kesalahannya temen lo sendiri. Situ waras, ha?!" balas Bara.

"Bar, udah. Biarin aja. Enggak usah diladenin cewek begitu mah. Enggak butuh!" tegur Bayu.

Anya mengepalkan tangannya mencoba menahan emosi. Ia berlari begitu saja meninggalkan ketiganya. Bara melepaskan tangan Reno yang menahannya. "Argh! Bangsat!" seru Bara kesal.

"Lo kenapa sih?" tanya Bayu.

"Dia nyalahin gue. Dia bilang ini salah gue sampe Kiara selingkuh. Di sini gue korban, bangsat. Bisa-bisanya dia malah nyalahin gue?!" balas Bara dengan nada kesal.

Reno menatap Bara kaget. "Anya nyalahin lo? Wah, enggak bener tuh cewek. Bisa-bisanya temennya yang salah, tapi malah dia salahin orang lain."

"Makanya. Pengen gue bunuh tau enggak?! Ugh! Harusnya gue patahin langsung lehernya tadi." Bara meluapkan kekesalannya.

"Ya, enggak di sekolah juga. Lo nanti ditangkep polisi." Bayu menegur.

"Udahlah. Gue kebelet pipis. Duluan, Bay!" seru Reno langsung masuk ke dalam toilet. Bayu yang baru sadar langsung mendorong Bara menjauh dari pintu hingga Bara hampir jatuh mencium lantai.

"Ugh! Bayu bangsat!"

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

Jam pulang pun tiba. Para murid mengemasi barang-barang mereka ke dalam tas. Bara menatap bagaimana Zalfa menyimpan barang-barang miliknya ke dalam tas sekolahnya. Bayu yang sadar pun menarik Reno untuk pergi lebih dulu.

"Eh, eh! Pulpen gue, njir! Ketinggalan!" seru Reno. Bahkan tas sekolahnya masih terbuka.

"Besok aja. Yok, temenin gue ke game center! Bar, duluan!" ucap Bayu.

Bara mengangguk. Ia berjalan mendekati Zalfa dan kemudian berdehem kecil. Zalfa menoleh dan bertanya, "kenapa?"

"Gantungan tas lo keren. Suka bunga, ya? Itu bunga apa?" Bara basa-basi.

Zalfa menatap gantungan tasnya dan tersenyum. "Bunga edelweis. Kesukaan mendiang nyokap gue." Bara langsung merasa bersalah karena menanyakan itu. Niat hati ingin membuktikan apakah Zalfa adalah teman masa kecilnya malah membuat Zalfa mengingat mendiang ibunya. Bara bahkan tak tahu kalau ibunya Zalfa telah tiada.

"Sorry, I didn't mean to ..."

"Gapapa. Udah lama kok. By the way, kenapa nanyain itu?" tanya Zalfa.

Bara tercekat kecil. "Oh! Itu ... eum, adek gue juga suka bunga itu. Sering liat cuma enggak tau namanya."

Zalfa mengangguk paham. "Bunga edelweis namanya. Bunganya biasanya memang dijadiin hiasan kalo kering. Di beberapa negara, bunga edelweis dianggap sebagai simbol keabadian. Gue harap dengan ngeliat bunga ini, kenangan tentang nyokap bakal terus abadi di kepala gue."

Bara menjawab dengan ragu. "Keren. Eum, maaf. Gue pasti buka luka lama buat lo."

"Gapapa. Gue juga belajar berdamai kok. Enggak selamanya gue bakal selalu larut dalam kesedihan, 'kan? Lagian edelweis juga bagian dari gue," ucap Zalfa.

"Ha? Maksudnya?" tanya Bara bingung.

"Nama gue ada edelweis-nya," jawab Zalfa.

Bara kemudian memberanikan diri untuk bertanya, "kalau gitu nama lengkap lo siapa?"

"Oh, nama lengkap gue it—"

"ZALFA! BURUAN! GUE MAU BELI BOBA NIH DI MALL! KITA SEKALIAN BELI JAKET COUPLE!" Bara ingin sekali mencekik Tamara sekarang. Bagaimana bisa gadis itu datang di waktu yang kurang tepat? Sedikit lagi, Bara akan tahu siapa nama lengkap Zalfa. Ia akan hampir bisa memastikan apakah Zalfa adalah teman masa kecilnya atau bukan.

Ugh! Tamara! Kenapa dateng di waktu yang enggak tepat sih?! Batin Bara mengumpatinya.

"Eh, bentar. Gue duluan, ya! Nanti kita lanjutin lagi, Bar! Dah!" Zalfa langsung berlari menghampiri Tamara yang sudah misuh-misuh di depan pintu kelasnya.

Bara melambaikan tangannya dengan lemas. Ia ingin menahan Zalfa agar menyelesaikan ucapannya, tapi apa daya? Dibandingkan dengan Tamara, Bara itu siapanya Zalfa? Tamara teman dekatnya Zalfa. Bara? Dianggap teman sekelas mungkin adalah yang paling bagus. Bara boleh berharap lebih tidak sih?

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

• •✠•❀ Bab 19
• •✠•❀ ditulis oleh girlRin

[04] Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang