Bab 8

97 8 0
                                    

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

Keesokan harinya di sekolah, Bara datang terlambat karena ia baru tidur sekitar jam tiga dini hari. Matanya sedikit bengkak karena menangis dan juga ada lingkaran hitam di bawah matanya. Begitu ia tiba di kelas, Kiara dan dua temannya Bara langsung menatapnya dengan tatapan khawatir.

“Sayang, lo kenapa? Kok matanya bengkak gitu?” tanya Kiara dengan nada cemas.

Bara menggeleng pelan. “Gapapa. Kurang tidur aja semalem trus kayaknya mata gue kena gigit semut gitu, makanya bengkak.” Mana mungkin ia mengatakan kalau matanya bengkak karena menangis.

Kiara menggeleng kecil dan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Bara menatap apa yang ada di tangan pacarnya dan bertanya, “itu apaan?”

Kiara menjawab, “ini buat ngilangin lingkaran hitam di bawah mata karna begadang. Sini, gue pakein di mata lo. Biar enggak keliatan banget begadang.”

Bara menjauhkan wajahnya dari jangkauan Kiara. “Enggak mau, yang. Masa cowok pake make up cewek sih? Itu pasti alat make up cewek, ’kan?”

Kiara menatapnya galak. “Kalo punya cewek memang kenapa? Bagus tau! Ini cuma buat ngilangin lingkaran hitam bawah mata aja. Lo mau gue make up pake make up beneran biar mata lo enggak keliatan bengkak? Kalo mau, nanti ke rumah gue aja biar gue make up sebagus mungkin!” ucapnya.

Bara menggeleng ngeri. “Enggak mau!” Kiara tak menyerah. Ia masih mengincar wajah Bara sampai akhirnya Bayu datang dengan membawa soda kaleng yang mungkin ia beli di kantin. Bara, tanpa kata-kata langsung merebut soda tersebut dan menempelkannya ke bawah matanya. Rasa dingin langsung saja menyerap ke wajahnya.

“Nah! Gini bakal ngilangin bengkaknya kok!” ucap Bara.

Bayu menatapnya malas. “Gue beli buat minum bukan buat ngompres mata lo,” ucapnya dan kemudian duduk dengan malas. Reno, di sampingnya malah terkekeh geli. “Eh, ngomong-ngomong gue denger Bu Yanti bakal ambil cuti,” ucapnya.

Bayu menatap Reno dengan tatapan bertanya. Reno menjawab, “mau nikah katanya. Calonnya gue denger-denger duda anak tiga.”

“Buset, Bu Yanti yang cantik bahenol begitu malah dapet duda tiga buntut? Apa enggak salah tuh? Mending juga sama gue. Masih muda trus juga segelan,” ucap Bayu dengan nada bercanda.

Kiara yang mendengar itu mencibir kecil. “Kalo sama lo yang ada Bu Yanti bakal migrain tiap hari. Nurutin bocah tantrum kayak lo tuh bikin naik darah,” ucapnya.

Bayu memasang wajah tersakiti dan memegangi dadanya. “Jahat nian dikau, sayang. Terluka hati kanda jadinya,” ucapnya dengan penuh drama.

Kiara menatapnya jijik dan langsung melemparkan pulpen ke arah Bayu. Sayangnya, Bayu berhasil menghindar dan malah membuat pulpen itu mengenai punggung Zalfa yang sedang asyik menggambar di buku tulisnya. Pulpen itu tanpa sengaja mengalami kebocoran tinta dan membuat seragam putih Zalfa sedikit ternoda.

“Astaga, sorry banget! Gue enggak sengaja!” seru Kiara panik.

Zalfa menoleh dan menatap seragamnya yang sedikit ternoda tinta. Gadis itu mengembuskan napas panjang dan kemudian menatap Kiara dengan tatapan malas. “Gapapa. Noda kecil doang,” ucapnya.

Kiara menggeleng cepat dan kemudian berdiri. Ia melangkah menuju meja Zalfa dan kemudian berkata, “gue ganti deh. Gue beli ke koperasi. Ukuran seragam lo apa?”

Zalfa menggeleng. Ia enggan menarik banyak perhatian. “Enggak usah. Beneran gapapa,” ucapnya. Namun, Kiara tak peduli. “Seukuran gue kali, ya? Gue beli dulu. Lo tunggu di sini!” Dengan itu, Kiara pergi meninggalkan kelas yang terdiam sejenak dan kemudian kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Zalfa mengembuskan napas berat dan kembali melanjutkan kegiatannya yaitu menggambar. Ia sedang menggambar dirinya dan juga sahabat masa kecilnya. Zalfa tersenyum ketika mengingat itu. Ia merindukan sahabatnya itu dan banyak kenangan mereka yang melintas di benaknya sampai ia meraih bukunya dan memilih untuk menggambarnya. Zalfa menggambar kenangan ketika mereka dulu bermain di dekat taman bermain dimana Zalfa duduk di ayunan dan sahabatnya itu mendorongnya.

Tak lama Kiara kembali dengan membawa satu set seragam baru. Ia menyerahkannya kepada Zalfa. “Duh, sebenarnya lo enggak usah beliin baru. Beneran gapapa kok. Cuma noda kecil doang.” Zalfa menerima dengan perasaan tak nyaman.

“Gapapa. Gue enggak mau terkesan enggak bertanggungjawab. Lo mau gue temenin ganti baju atau gimana?” ucap Kiara. Zalfa menggeleng kecil. “Nanti gue bareng temen gue aja deh. Ini seriusan gapapa? Gue ganti deh duitnya,” ucapnya masih tak nyaman.

Kiara menggeleng. “Gapapa. Harusnya gue yang enggak enak. Gue sebenarnya mau ngelempar si Bayu, tapi malah kena lo. Gue juga enggak tau tinta pulpennya bocor,” ucapnya bersungguh-sungguh.

Zalfa mengangguk kecil. “Kalau gitu, gue terima nih. Makasih, ya?” Kiara mengangguk dan kemudian tak sengaja menatap gambaran Zalfa. Ia terpesona dengan keahlian Zalfa dalam menggambar.

“Itu lo gambar sendiri?” tanya Kiara. Zalfa mengangguk. Bara yang penasaran pun berjalan mendekat dan kemudian berdiri di belakang Kiara. Merasakan kehadiran pacarnya, Kiara pun berbalik menatap Bara.  “Sayang, liat deh. Zalfa keren banget bisa gambar begitu. Jadi iri deh,” ucapnya. Zalfa yang mendengar itu mengusap lehernya pertanda malu.

Bara, di sisi lain malah fokus pada gambaran Zalfa. Ia merasa familiar dengan adegan yang digambar itu. Entah kenapa ia seperti mengingat kenangan masa kecilnya dimana ia dan Lila—sahabatnya—itu sedang bermain di taman bermain sambil menunggu jemputan orang tua mereka. Ia ingat dengan jelas bahwa dulu ia sering mendorong ayunan dimana Lila duduk di sana. Suara tawa Lila kembali memenuhi pikiran Bara.

“—yang? Sayang? Sayang!” seru Kiara yang kesal karena Bara mengabaikannya. Bara yang mendengar teriakan itu pun tersentak kecil dan menatap Kiara dengan linglung.

“Ha? Kenapa?” tanya Bara.

Kiara merengut kecil. “Gue nanya, gimana menurut lo kalo Zalfa ngegambar kita berdua? Lo malah diem melamun gitu. Kesel ah gue!” Gadis itu merajuk dan duduk ke bangkunya dengan wajah merengut. Bara menggeleng kecil dan menggaruk kepalanya bingung. Ia menoleh dan mendapati Zalfa menatapnya dengan tatapan canggung.

“Maaf, ya. Oh, itu gambaran lo keren. Itu lo bikin sendiri?” tanya Bara. Zalfa mengangguk. “Iya. Ini gue bikin sendiri,” ucap Zalfa sambil tersenyum penuh kerinduan ke arah gambarannya.

Bara terdiam. Ia ragu, tapi ia ingin bertanya. “Yang lo gambar itu ... dari mana lo lia—”

“Ihh! Kok gue enggak dibujuk sih?!” seru Kiara yang kesal karena Bara malah berbincang dengan Zalfa, bukannya membujuknya. Bara yang mendengar itu pun mengembuskan napas berat dan kemudian berjalan menuju bangkunya untuk membujuk Kiara. Gadis itu melipat kedua tangannya di dada dan menatap Bara dengan tatapan tajam.

“Kalau gitu kita nonton bareng deh. Malam ini, film apa aja terserah lo. Gimana?” bujuk Bara. Kiara terdiam. Ia teringat janjinya dengan Irfan bahwa malam ini mereka akan pergi kulineran. Ia langsung memasang wajah sedih. “Malam ini gue ada acara keluarga,” ucap Kiara dengan wajah sedih.

Bara tersenyum dan kemudian berkata, “kalo gitu kapan lo free aja. Kasih tau gue biar kita jalan-jalan. Gimana?” Kiara mengangguk setuju dan kemudian memeluk Bara yang mana dibalas oleh pemuda itu.

Bara diam-diam mengembuskan napas lega dan kemudian kembali melirik Zalfa. Entah kenapa ia memiliki suatu pemikiran aneh dan ia ragu apakah itu benar. Entahlah, Bara bingung.

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

• •✠•❀ Bab 8
• •✠•❀ ditulis oleh girlRin

[04] Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang