Bab 6

112 7 0
                                    

• •✠•❀ Hiraeth  ❀•✠ • •

Zalfa melangkahkan kakinya sembari menikmati suasana kompleks yang terbilang cukup tenang dan nyaman menuju kedai sate Madura di depan perumahan yang tak jauh dari blok rumahnya. Ini sudah malam. Jam tangannya menunjukkan pukul setengah sebelas malam karena perumahan Zalfa berada di tengah kota membuatnya berani keluar selarut ini karena lapar sebab Bi Ulfa sudah terlelap. Jadi, ia sungkan untuk membangunkannya.

"Mas, sate lontongnya seporsi. Bumbu kacangnya banyakin. Pedes ya," ucapnya setelah sampai didalam warung tenda itu.

"Jalan sendirian engga takut, Neng?" tanya penjual sate setelah mengiyakan pesanan Zalfa.

Zalfa menggeleng. "Masih rame kok, Mas," jawabnya.

"Aduh. Jangan, Neng. Udah malem ngga baik. Nanti pulangnya biar dianter Bara, ya." Mas Ari-penjual sate itu menawarkan.

"Bara?" beo Zalfa.

"Iya. Rumah Neng di perumahan ini 'kan?"

"Iya, cuma di dalem sini, Mas. Deket kok. Engga usah dianter." Zalfa menolak sambil tersenyum.

"Kalo ditawarin tuh jangan nolak, Mbak. Coba lihat sekarang jam berapa?" sahut seseorang dari belakang Zalfa.

"Lo—" ucap Zalfa terkejut.

"Nah anterin dia, Bar!" titah Ari yang menggoyahkan lamunan Zalfa.

"Lo anak baru di kelas gue 'kan?" tanya Bara dan menghiraukan perintah itu.

"I–iya," jawab Zalfa canggung. Ia masih tak mengira jika pacar Kiara ada di sini. Zalfa mengedarkan pandangannya siapa tahu Kiara ada disini juga.

"Lo ngapain di sini?" lanjutnya.

"Ya, gue langganan sate Mas Ari."

"Bara itu sering makan disini. Terus nemenin saya sampai malam, Neng. Ternyata kalian kenal?"

Bara mengangguk. "Dia anak baru di kelas gue, Mas."

"Oh, yaudah sana anterin Bar. Kasihan udah malem jalan sendiri. Ini satenya, Neng. Lima belas ribu aja," ucap Ari.

"Makasih," ucapnya setelah menyodorkan lembaran uang.

"Gue anter," ucap Bara.

Zalfa tersenyum. "Engga usah, deket kok. Duluan ya," pamitnya.

Bara menyambut kresek sate ayam Zalfa menuju motor, dan membuat Zalfa reflek mengikutinya.

"Sate gue!"

"Naik, gue anter ayo. Udah malem," ucap Bara sambil menghidupkan motornya.

Sebenarnya Zalfa ingin menolak, tapi ia tidak berani karena diberi tatapan panas oleh Bara. Memang tatapan bara seperti itu, sih.

"I–iya." Zalfa pun duduk di jok belakang motor Bara. Terdiam canggung karena tidak tahu harus berbuat apa.

"Kita belum kenalan," ucap Bara lalu menepikan motornya untuk berhenti di depan taman dekat rumah Zalfa.

"Gue Bara," lanjutnya sambil menyodorkan tangannya.

Bayangan masa kecil Zalfa tiba-tiba kembali terlintas setelah lelaki ini menyebutkan namanya. Seperti tidak asing.

"Za–Zalfa."

Bara mengangguk. "Lo kenapa selalu ketakutan?" Pertanyaan yang ingin Bara tanyakan akhirnya terlontar juga.

"Gapapa kok."

"Kalo gapapa lain kali jangan takut. Temen-temen gue asik kok," jelas Bara.

Zalfa mengangguk sambil tersenyum. Ternyata lo juga asik, Bar. Batinnya.

[04] Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang