Kursi makan di sebelahnya berdecit, Dean menghela napas malas melihat siapa yang ikut bergabung di meja makan lantas berdiri hendak meninggalkan makan malam bersama namun teguran Ayah menahannya.
"Mau ke mana? Makan dulu," kata Danu.
Dean mengurungkan niatnya, tidak ingin menciptakan pertengkaran dengan ayahnya, terlebih di depan Raefal yang menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Juna, mau makan apa biar Bunda ambilkan."
"Apa aja yang ada, Bun," jawab Juna.
Retna menyiapkan lauk pauk untuk Juna, setelahnya Juna menyantap makanan Bundanya tidak lupa ucapan terima kasih.
Perasaan Juna sulit diungkapkan dengan kata-kata. Momen seperti ini adalah impian yang selalu Juna harapkan, sebuah keluarga yang makan bersama tanpa adanya ketegangan. Bunda yang penuh perhatian dan Ayah yang tidak menyentuh perasaannya. Juna merasa bahagia, sangat bahagia. Jika ada kesempatan, Juna ingin mengulang momen ini berkali-kali.
Raefal, di seberang meja, juga terlihat senang melihat kedua kakaknya berkumpul.
"Barang-barang kamu sudah selesai diberesin?" tanya Retna memecah keheningan.
"Sedikit lagi, Bun."
"Nanti biar Bunda bantu beres-beres."
"Gak usah bawa barang terlalu banyak. Bawa yang perlu dibawa aja, semua kebutuhan kamu sudah Ayah siapin di sana."
Juna mengangguk. "Makasih, Yah."
"Seharusnya dari dulu kamu nurut sama Ayah, jadi gak perlu ribet ngurus surat ini itu." Pembicaraan mulai ke hal sensitif. Dapat Juna rasakan Dean di sebelahnya mulai tidak nyaman.
"Udahlah Yah, yang penting sekarangkan Juna udah berubah pikiran," Retna membela. "Dean mau tambah lagi?"
Dean meneguk minumannya. "Enggak, Bun, makasih," kata Dean, sebelum meninggalkan meja lebih dulu.
Melihatnya pergi, Retna menghela napas. Ia tahu Dean sedang marah.
Makan malam berlangsung hening, tanpa pembicaraan berarti. Juna kembali ke kamarnya, mencermati setiap sudut untuk mencatat kenangan. Baju dan barang-barangnya sudah dipersiapkan dalam koper dan tas. Dua hari lagi, waktu yang tersisa sebelum Juna meninggalkan rumah. Bukan hanya rumah, tapi juga sekolah, keluarga, dan teman-temannya.
Dada Juna terasa sesak, rasa sakit yang begitu mendalam. Kepergian ini bukanlah pilihan Juna. Tidak pernah terpikirkan untuk meninggalkan rumah, terutama setelah berhasil membangun keluarga yang ideal dan harmonis. Namun, ketika semua tampak sempurna, ia terpaksa pergi.
Kamar Juna tampak penuh dengan aroma kenangan. Poster-poster di dinding, buku-buku di rak, dan segala sudut ruangan menjadi saksi perjalanan hidupnya. Juna mengamati setiap benda seolah mencoba menyimpannya dalam ingatan yang takkan pudar.
Bunda datang bersama Raefal, membantu Juna membereskan barang-barangnya.
"Kak Juna mau pergi ke mana?" tanya Raefal polos. "Katanya cuma pindah sekolah, tapi kenapa barang-barangnya dibawa juga?"
"Sekolahnya jauh, jadi kakak cari tempat tinggal yang dekat sama sekolah," jawab Juna.
"Jadi Kakak gak tinggal di rumah lagi?"
Juna tersenyum. "Nanti kalau liburan Kakak pulang terus main sama Raefal."
Mata anak berusia 7 tahun itu mengerjap. Menatap Kakaknya lamat-lamat, namun seketika wajah itu itu berubah sedih, tangisan terdengar keras. Juna yang paham kesedihan itu langsung memeluk adiknya mencoba memberi pengertian. "Kan, udah Kakak bilang nanti kalau liburan, Kakak pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting
Genç Kurgu[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] 𝘚𝘦𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘰 𝘨𝘢𝘬 𝘶𝘴𝘢𝘩 𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘤𝘢𝘮𝘱𝘶𝘳 - Arjuna Arjuna berdiri paling depan membela adik-adiknya jika terjadi suatu masalah, tidak mempedulikan bahwa dirinya juga terlalu banyak menanggung luka...