6. ANCAMAN

125 12 0
                                    

Desember 2023

"Kamu, To? Kamu juga, Bang Risman?"

Jeanne kenal tiga orang laki-laki di dalam Camry hitam. Laki-laki berkemeja garis-garis dilapis jas hitam yang terkesan seperti eksekutif muda bernama Aristoteles Sinambela. Laki-laki berkulit sawo ekstra matang berkemeja biru muda bertuliskan Indonesia Emas adalah Andi Rismanudin. Sementara pria berkeja batik lengan pendek yang tengah menyupir adalah Pak Margono.

"Ya, Mbak. Sorry kalau ngagetin." Aristoteles Sinambela memegangi tubuh Jeanne.

Jelas Jeanne kaget, lebih tepatnya kaget bercampur sebal. Dia tidak pernah menyukai laki-laki yang diusulkan Haikal menjadi calon anggota DPRD DKI Jakarta 10 ini. Menurut Jeanne, Aristo cuma mengandalkan wajah lumayan ganteng dan popularitas sebagai YouTuber channel konspirasi. Idealisme membela rakyat? Tentu saja tidak ada. Bagaimana bisa kolektor Rolex dan pemilik Rubicon seperti Aristo paham aspirasi kaum jelata?

"Kamu juga, Bang Risman. Apaan sih?" Jeanne menegur Andi Rismanuddin yang mengapit Jeanne di sebelah kiri. Dia pengurus ranting dari partai di mana Haikal juga bergabung di dalamnya. Sudah berumur, Kira-kira 30 tahunan. Sepengetahuan Jeanne, Risman sibuk berorganisasi semasa kuliah.

Jabatan ketua BEM kampus mengantarkan Risman menjadi pengangguran. Perusahaan malas menerimanya karena dicap pembuat onar dan tukang protes. Sayang sekali bukannya sadar, Risman malah dengan bangga menampilkan pengalaman organisasinya di curriculum vitae. Akhirnya lulusan S1 Fisip itu memilih menjadi driver ojek online lantaran sulit mencari kerja. Pertemuannya dengan Haikal mengubah nasib. Risman diangkat sebagai ketua ranting partai tingkat kecamatan.

"Jangan bercanda deh. Mau main culik-culikan kayak di film? Nggak lucu tau!" sembur Jeanne sebal.

"Mbak Jeanne tenang, Bapak udah otw pulang. Masih di pesawat," tanggap Aristo tanpa menggubris keberatan Jeanne.

Jeanne membasahi kerongkongan. Kalau Aristo menyebut-nyebut Bapak, artinya dia tidak main-main. Haikal lah yang mengutus orang-orang ini untuk menculiknya.

"Kalian kenapa sih? Aku boleh keluar rumah ya. Aku bukan tahanan." Jeanne menepis rasa waswas dengan pura-pura marah.

"Tapi Mbak Jeanne ke LBH," kata Risman.

"Ya, memangnya salah?" tantang Jeanne.

"Mbak ada masalah hukum? Kita punya pengacara." Risman mengungkit banyaknya sarjana hukum dalam partai. Mereka garda terdepan ketika partai menghadapi konflik.

Jeanne mencibir. Menghadapi Haikal menggunakan pengacara partai? Sama saja bunuh diri. Pengacara-pengacara itu pastilah memihak pada suaminya.

"Bukan urusan kamu ya aku mau ke LBH kek, ke istana presiden kek, ke Mars kek," ketus Jeanne.

"Bukan masalah kami, tapi masalah Pak Haikal." Aristo menjelaskan hal yang tidak perlu.

Jeanne sadar hidupnya tidak akan pernah tenang setelah Haikal menikahinya meskipun cuma secara agama. Bagaikan burung dalam sangkar emas, semua kebutuhan hidup dipenuhi berlimpah, tapi ditukar dengan kemerdekaan. Ini sungguh tidak adil. Haikal bebas pergi ke mana pun dia suka, bergaul dengan siapa pun yang dia inginkan, tapi Jeanne diawasi 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, dan 365 hari setahun.

"Pak Margono, berhenti!" teriak Jeanne.

"Jalan terus, Pak." Aristo memberi perintah sebaliknya.

Dari kaca spion terlihat raut wajah Pak Margono menegang. Bingung harus menuruti siapa.

"Berhenti kubilang!" ulang Jeanne. Ruang geraknya terbatas, terlebih tubuh Risman yang menghimpitnya lumayan 'berisi'.

"Hei, mau kalian apa sih? Aku nggak ngapa-ngapain. Masa cuma ke LBH saja nggak boleh?"

DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang