28. TUKANG BULLY

91 8 1
                                    

Desember 2023

Diam-diam Jeanne berterima kasih karena Rion tidak memperpanjang perdebatan topik sensitif. Jika saat itu Rion meladeninya, apa lagi membalas serangannya menggunakan ayat kitab suci, niscaya warga sekolah akan berdatangan menonton.

Rion mengalah, memilih mengabaikan. Diamnya laki-laki itu bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi berhasil meredam keributan. Namun di sisi lain melebarkan jurang pemisah di antara mereka.

Ada konsekuensi yang harus Jeanne tanggung akibat ulahnya. Rion menjauhi dirinya. Khusus kepada Jeanne, sikap laki-laki itu berubah drastis. Terhadap orang lain, Rion mau beramah tamah, mengumbar senyum hangat seperti biasa. Hanya pada Jeanne dia terkesan jaga jarak. Jika kebetulan berpapasan, Rion memilih pura-pura tidak melihat, seakan Jeanne hanyalah hantu tak kasat mata.

Diabaikan begini terasa lebih menyakitkan. Kalau boleh memilih, Jeanne lebih suka Rion membalas argumennya. Mereka diskusi sampai puas, walaupun untuk urusan agama memang tidak akan pernah meraih titik temu. Setidaknya setelah berdebat, hubungan mereka baik-baik saja dan bisa berkawan seperti semula.

Akan tetapi Jeanne maklum Rion mengambil jalan berbeda. Rion hanyalah kaum minoritas. Kalaupun mereka sampai ribut, terlebih meributkan masalah serius, entah apa yang bisa dihadapi Rion. Mungkin dia masuk penjara seperti mantan gubernur Jakarta yang mendekam di bui karena kesalah pahaman.

Jeanne sadar dirinya terlalu jauh melompati pagar. Kedekatan dengan Lila membawanya akrab dengan anak-anak Rohis. Mulailah Jeanne dicekoki berbagai buku mengenai keislaman dan perbandingan Islam-Kristen.

Pikiran Jeanne tak lagi tenang. Di rumah, dia mulai suka mencecar Cicilia mengenai doktrin ketuhanan Yesus Kristus. Cara Jeanne memandang ibunya berangsur berbeda. Dia pun tidak tahu kenapa, tetapi ada saat di mana Jeanne ingin sekali solat berjemaah dengan sang ibu. Aneh sekali, padahal selama belasan tahun keluarganya senantiasa merangkul perbedaan dan tidak menjadikannya masalah.

"Parah juga ya aku dulu, rajin minta Kakak pindah agama. Aku juga nyinggung Tuhannya, Kakak. Mianhae." Jeanne membungkukkan badan takzim, benar-benar menyesal pernah bersikap bodoh di masa lalu.

"Nggak apa-apa," sahut Rion.

"Nggak pa-pa?" Mata Jeanne membulat. "Betulan nggak pa-pa?"

"Hmmm." Rion mengangguk. "Saya justru berterima kasih sama kamu karena membuka mata saya bahwa hubungan beda agama memang nggak akan berjalan mulus."

Secara tidak langsung, Jeanne membuktikan kebenaran nasihat ibunda Rion. Tidak terbayang bagaimana jika Rion nekad berpacaran dengan perempuan beda keyakinan. Hari-hari mereka akan dipenuhi pertempuran mengenai ajaran agama siapa yang paling benar. Belum lagi usaha kedua belah pihak menarik masuk pasangannya pada keyakinan yang masing-masing. Sungguh menguras energi dan ketenangan hidup.

"Yah, aku lagi emosi aja waktu itu. Habis Kak Rion pulang sekolah lebih cepat nggak bilang-bilang."

"Saya nggak merasa punya kewajiban ngabarin kamu."

Itu fakta, tapi kenapa jantung Jeanne serasa ditikam tombak ya? Walau begitu, dia mengangguk.

"Saya memang marah sama kamu waktu itu," Rion mengakui. Kesabarannya termasuk lumayan tinggi dibandingkan remaja seumuran. Malah, teman-teman Rion menganggapnya cukup bijaksana karena sangat jarang terpancing. "Saya anggap kamu keterlaluan. Agama bukan sesuatu yang perlu diributkan. Yakini ajaran agamamu dan biarkan orang meyakini ajaran agamanya."

"Aku mengerti." Jeanne menunduk, malu sekaligus menyesal. "Maafin aku. Sedih banget dicuekin Kak Rion."

"Gue udah maafin lo. Cuma menghindari keributan berulang." Rion menanggapinya sambil lalu. Apa yang Jeanne lakukan tidak berdampak apa-apa. Buktinya, Rion setia pada agamanya. "Lo bikin iman gue makin kuat."

DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang