20. AWAL DUKA

124 9 0
                                    

Juni 2011

Papan kayu bertuliskan Maulana Tohir bin Sueb Tohir tertancap di gundukan tanah basah hitam kemerahan penuh taburan kelopak mawar. Kepala tertunduk, pelukan mengerat. Handai taulan dan kawan berucap turut berduka pada pihak keluarga. Usia almarhum relatif muda, belum genap 40 tahun mengecap dunia.

Cicilia cukup peka bahwa keluarga pihak mendiang suaminya hanya diam sementara, menunggu para pelayat pergi agar dapat memuntahkan emosi negatif yang terpendam. Dia siap. Satu-satunya yang Cicilia khawatirkan hanyalah putrinya.

"Ayah," ratap seorang gadis kecil menyayat hati. Dia menolak beranjak dari pusara sang ayah, cinta pertama dalam hidupnya. Baginya, tiada laki-laki yang lebih baik daripada sosok yang kini terlelap selamanya di pelukan bumi. Siapa lagi yang akan mengajaknya berkeliling melihat lampu kota di Thamrin dan Sudirman? Siapa lagi yang akan menjemput di sekolah membawakan es krim cokelat kesukaan?

"Jeanne, sudah, Nak." Cicilia bersimpuh di sebelah Jeanne. Gaun hitamnya ternoda tanah. Air matanya sudah kering, sebab tangisnya tak pernah berhenti sejak satu tahun belakangan, tepatnya ketika dokter mengumumkan suami tercintanya menderita kanker getah bening. Berbagai usaha telah ditempuh. Kemoterapi yang menyakitkan, pengobatan herbal yang tidak mengenakkan. Sekeras apa pun manusia berupaya, pada akhirnya usia ditentukan Sang Empunya Kehidupan.

"Ayah..." Jeanne tak sanggup mengatakan apa pun selain memanggil sang Ayah, akan tetapi sepasang lengan besar memaksanya berdiri.

"Noura, ikut sama Uwak." Wanita berhijab putih dengan riasan tebal berbicara padanya. Jeanne mengenal Wak Zubaidah, kakak tertua ayahnya. Terkenal tegas, tidak ada yang berani membantahnya.

"Nggak, Mpok. Jeanne biar sama saya."

Untuk pertama kalinya, ibunda Jeanne melawan sang kakak ipar. Jeanne melepaskan diri dari cengkeraman uwaknya, menghambur memeluk ibunya.

"Jan, Jen, Jan, Jen. Namanya itu Noura, artinya cahaya. Ngapa lo manggil Jen?" sahut Zubaidah kesal.

Namanya Jeanne Noura, diambil dari dua latar belakang berbeda. Jeanne d'arc, pahlawan Katolik Prancis bernasib tragis. Nama ini diberikan Cicilia, ibunda Jeanne Noura sebab mengagumi keberaniannya. Kemudian Noura, memang berarti cahaya. Maulana memberikan nama anak perempuan pertamanya terinspirasi dari Noura binti Abdul Rahman Al Saud, perempuan di jazirah Arabia yang progresif dan cerdas.

Keluarga besar Sueb Tohir tentu tidak ada masalah dengan nama Noura. Maknanya bagus. Orang yang mengispirasi pemberian nama juga tokoh Islami terpandang. Namun nama Jeanne, tokoh kafir yang menuhankan manusia sungguh tak patut tersemat di sana. Bisa-bisa anak ini ikut tersesat seperti ibunya.

"Aku mau sama Mama!" teriak Jeanne.

"Noura harus tinggal sama Uwak, sama Bang Iqbal dan Kak Bariyah." Zubaedah melotot mengintimidasi.

"Jeanne anak saya. Dia tinggal sama saya." Cicilia merengkuh Jeanne, satu-satunya harta berharga yang dia miliki.

"Sama lo? Memangnya lo bisa kasih pendidikan agama yang bagus buat Noura?" cibir Zubaidah. "Umur Noura udah 13, tapi khatam Alquran nggak bisa. Karena apa? Ya karena lo kagak ajarin dia ilmu agama yang bener. Gue ini guru ngaji. Anak-anak, ponakan, semua gue yang ajarin mulai dari iqra sampai khatam 30 juz. Tuh si Nabil, umur 9 tahun udah khatam. Lebaran kemarin setor tamat 30 juz."

Cicilia bergeming, tetap memeluk Jeanne meskipun gentar. Saudara dari pihak almarhum suaminya mulai mendekat mendengar keributan.

"Ayo, Noura." Zubaidah mengulurkan tangan, tapi Jeanne menepisnya.

"Nggak mau! Aku mau ikut Mama!"

"Dasar emak sama anak sama-sama batu!" gerutu Zubaidah geregetan.

Laki-laki berkulit tan berpostur tinggi besar berjalan mendekat. Rambutnya ikal. Itu Jeremy, kakak Cicilia. Paras campuran Ambon dan Belanda masih kental. Kumis melintang menambah kesan seramnya. Cicilia tidak mau keributan antar keluarga pecah. Dia menggeleng, meminta Jeremy berhenti di tempatnya.

"Mpok, kita lagi dalam suasana berduka. Bisa nggak kita tunda ribut-ributnya?" Cicilia mengisyaratkan negosiasi.

"Urusan agama kagak bisa ditunda. Gue kagak mau anaknya Maul kagak paham ilmu agama. Bahaya kalau Noura kelamaan sama lo."

"Mah, udah. Kagak enak." Laki-laki bersetelan gamis putih dan kopiah haji senada melerai.

"Bang Iman." Cicilia membasahi kerongkongan, berharap suami dari kakak iparnya ini dapat meredam suasana.

"Kagak bisa begitu dong, Pah. Noura itu anak Maul satu-satunya. Harus kita selametin biar kagak jadi kafir. Inget, Pah, cuma Noura harapan Maul. Siapa yang doain Maul nanti?"

Tentu saja Cicilia berdoa setiap hari demi kesembuhan suaminya. Bahkan tadi pun ketika prosesi pemakaman, dia berdoa agar sang suami beristirahat dengan tenang. Namun percuma menjelaskan pada kakak iparnya. Keributan di antara mereka akan semakin membesar.

"Hush, kagak boleh ngafir-ngafirin orang begitu. Udah, Mah. Sisil bener. Kita lagi suasana berduka. Tanah masih basah. Jangan bikin keributan." Iman menarik tangan Zubaidah, agaknya menyadari bahwa Jeremy juga dalam posisi siaga.

"Sebentar, Pah. Mamah belum selesai." Zubaidah melepas cengkeraman suaminya.

Mata wanita itu tertancap pada liontin salib emas yang menggantung di leher Cicilia. Air mukanya masam.

"Lo harus angkat kaki dari rumah. Itu rumah warisan Babe. Babe dapet dari Engkong. Lo nggak berhak tinggal di sana."

Patutkah membahas masalah warisan pada saat ini? Cicilia tidak ingin membahasnya. Dia sudah kehilangan suami dan hampir saja kehilangan anak. Kalau memang rumah itu bisa menghentikan usaha keluarga pihak suaminya memisahkan dirinya dengan Jeanne, Cicilia akan memberikannya secara sukarela, meskipun dia masih bingung akan tinggal di mana.

Cicilia ingin mengangguk. Tidak masalah meninggalkan sesuatu yang memang bukan haknya. Akan tetapi, Jeanne punya hak atas rumah itu. Anaknya adalah darah daging Maulana. Peperangan batin mengakibatkan mulut Cicilia terkunci rapat. Air mata yang lama dibendung, mengalir menuruni pipi.

Zubaidah tak menunggu jawaban Cicilia. Baginya, hubungan persaudaraan terputus bersamaan dengan kematian Maulana. Semua ungkapan batin yang tertahan belasan tahun meluap. Tidak ada perasaan yang perlu dijaga lagi.

Selama beberapa saat, Cicilia mematung menyaksikan punggung keluarga sang suami meninggalkan pusara.

Melihat situasi kondusif, Jeremy menghampiri Cicilia, menarik adiknya ke dalam pelukan.

"Kau tinggal sama aku saja, Lia. Bawa Jeanne dan barang-barang seperlunya."

"Mama, udah jangan nangis. Uwak udah pergi." Jeanne menghapus air mata Cicilia.

"Jeanne, maafin Mama...."

"Mama nggak salah. Uwak Idah emang jahat kan dari dulu. Kenapa bukan dia yang mati duluan ya?" sahut Jeanne jengkel.

"Nggak boleh begitu. Doakan saja uwakmu supaya dijamah Tuhan."

"Mau sampai kapan sih, Ma? Mengasihi sih mengasihi, tapi bukan berarti kita harus diinjek-injek terus kan? Mama lawan dong. Aku bantuin. Mama jambak rambut Uwak, biar aku yang tendang pantatnya!" Jeanne berseru menyemangati.

Cicilia menggeleng. "Udahlah, keributan nggak akan menyelesaikan masalah. Jeanne mau ikut Mama kan?"

"Pasti dong." Jeanne menyahut mantap. Memangnya mau ke mana lagi dirinya? Kini cuma Cicilia yang dia punya.

"Kalau gitu sampai rumah nanti, kita beres-beres barang yang diperlukan."

"Beneran, Ma kita diusir sama Uwak? Tapi itu kan rumah Papa. Mama harusnya lawan dong. Apa aku aja yang lawan Uwak?" tanya Jeanne tidak terima disuruh pergi dari rumah masa kecilnya.

"Mama nggak mau ribut, Jeanne. Buat apa? Itu rumah warisan Engkong. Anak-anak engkong termasuk Uwakmu lebih berhak."

Jeanne masih ingin membantah, tapi tatapan Cicilia mengurungkan niatnya.

"Yah, okelah." Jeanne menyerah. "Tapi, Ma, aku mau tanya. Kenapa sih Mama tetap kafir? Nggak mau sama kayak Papa dan Jeanne aja?"

***

Mungkin di part ini omongan Jeanne agak kasar, tapi hanyalah ungkapan pemikiran kritis sebagai anak.

Vote dan komen yang banyak. Yang pengen baca lebih cepat bisa ke Karyakarsa Belladonnatossici. Sudah sampai bab 65 di sana.

Love,
💋 Bella 💋



DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang