Maret 2017
Jeane berjalan mondar-mandir di kamar. Baru saja Asyifa mengirimkan chat memberitahukan atasannya hendak berkunjung. Bukan kunjungan biasa, melainkan memperlihatkan keseriusan Haikal Mahardika menimba ilmu.
"Hah, menimba ilmu." Jeanne mendengus sendiri, menertawakan kata-kata yang melintas di pikirannya. Dia merasa tidak memiliki kapasitas memberikan ilmu. Sampai detik ini pun masih tak habis pikir kenapa seorang pejabat negara mau membayar demi mendapatkan ilmu abal-abal. Siapa lah Jeanne Noura? Cuma seorang mahasiswa yang mendapatkan kemampuan memasak secara otodidak. Cuma orang bodoh atau kebanyakan uang yang mau membayar mahal demi mendapatkan ilmu darinya.
"Gue yakin si aki-aki nggak murni mau belajar bikin salmon en croute. Pasti modus doang, tapi apa?" Jeanne meneruskan kegundahannya lantas berseru, "Ah,gue tahu. Aki-aki itu mau minta ganti rugi karena gue colek lukisan koleksi mertuanya."
Uh! Jeanne jadi merinding sebadan-badan. Pejabat selalu punya cara halus untuk mengungkapkan maksudnya secara tidak langsung. Jangan lupakan fakta bahwa Haikal Mahardika adalah politikus dan semua politikus di mata Jeanne hanyalah sekumpulan dari banyak tikus. Poli berarti banyak. Yah, cocok sekali bukan. Tikus-tikus berdasi.
Jika analisisnya benar, maka tamatlah riwayat Jeanne. Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu untuk mengganti rugi?
Jeanne berhenti untuk mengingat-ingat. Sepertinya dia tidak menyebabkan kerusakan pada lukisan itu. Lalu kenapa Haikal Mahardika masih memperpanjang urusan dengannya?
Jeanne betulan tidak bisa hidup tenang setelah berkenalan dengan Haikal Mahardika. Aneh juga kalau anggota DPR itu ikut campur sementara sang empunya lukisan yakni ayah mertuanya tenang-tenang saja.
Sedari siang Jeanne belum makan, tetapi perutnya adem ayem. Siapa juga yang sanggup berpikir tentang makanan dalam keadaan begini? Kegelisahannya berlanjut hingga jam dinding menunjukkan pukul 06.20 malam. Pegawai Noura Catering tak tersisa lagi. Cicilia belum pulang dari acara pengajian salah satu menteri kabinet sekarang. Perkenalan dengan Partai Indonesia Emas membuka pintu pada banyak pejabat di negeri ini. Jeanne bersyukur sebab perekonomian keluarganya membaik. Namun ada pula sisi buruknya, lihat saja yang dia alami, terpaksa berurusan dengan orang penting.
Bunyi klakson mengagetkan Jeanne. Jaraknya dekat. Ketika dia mengintip dari jendela, lampu dari mobil Toyota Land Cruiser hitam menyorot terang benderang. Asyifa sudah bilang bahwa Haikal akan datang menggunakan mobil itu.
Jeanne dilema. Inginnya tidak keluar membuka pagar, pura-pura tidak ada di rumah. Dia sendirian sekarang. Kalau Haikal macam-macam nanti, bahkan dedemit penunggu rumah pun tak akan berani menolongnya.
Klakson itu berbunyi lagi. Sungguh tidak sabaran. Sial, ponsel Jeanne ikut berdering. Nama di id caller tertera jelas. Asyifa.
"Ya, Mbak." Jeanne menyapa dengan tidak senang.
[Jeanne Noura.]
Itu bukan suara Asyifa. Berat, dalam, dan penuh wibawa. Haikal Mahardika menghubungi Jeanne menggunakan ponsel asistennya.
"Ada apa, Pak?"
[Saya sudah di depan. Buka gerbangnya.]
Yah, Haikal tidak repot menanyakan keadaannya. Kalau sang empunya rumah tak kunjung membuka pintu, pasti ada alasannya kan? Sakit perut misalnya dan kalau Haikal punya sedikit saja rasa empati, pastilah akan bertanya, bukannya main perintah begitu.
"Tunggu ya, Pak. Aku lagi berak. Tadi siang di kampus makan ayam penyet level 5. Mencretnya lumayan nih, Pak." Jeanne membekap mulutnya sendiri supaya tawa jailnya tidak menyembur keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVERSUM
RomancePelangi indah karena berwarna-warni. Bunga cantik karena tak serupa. Manusia bertoleransi pada perbedaan asalkan bukan dirinya sendiri dan berpikir untuk mencapai kebahagiaan haruslah memiliki persamaan. Jeanne Noura menyukai Hilarion Praharsa seja...