11. PACARAN SAMA AKU SAJA

114 10 0
                                    

Desember 2023

Perayaan keagamaan yang berubah menjadi perayaan sekuler paling meriah. Ya, itulah Natal. Meskipun menimbulkan pro dan kontra setiap tahun, Jeanne tak pernah kehilangan antusiasme menyambutnya.

Ketika ayahnya masih hidup, Jeanne senang berkeliling pusat perbelanjaan di penjuru Jabodetabek. Tak terhitung fotonya berlatar dekorasi Natal. Jeanne tidak paham kenapa semakin hari, perbedaan justru semakin meruncing di negeri ini.

Lama rasanya Jeanne tidak berbahagia menyambut Natal. "Bukan hari raya kita," begitu kata Haikal. Apa peduli Jeanne? Dia suka kemeriahan. Dia menyukai vibe suka cita dan pastinya diskon gila-gilaan hingga akhir tahun.

Begitu memasuki mal tempat janjian dengan Rion, Jeanne segera menghirup udara dalam-dalam. Udara kebebasan. Dia berharap Haikal tak usah pulang sekalian asalkan transfer uang kebutuhan rumah.

Kota Kasablanka berhias. Pohon Natal serta rusa kutub di lobi terbuat dari material berwarna emas yang diberi aksen merah. Mewah dan cantik. Senyum Jeanne tersungging. Kalau ada Rion, nanti dia akan meminta difotokan di depan pohon Natal itu.

Namun seketika senyum itu pudar. Dia teringat pesan Haikal untuk tidak lagi merayakan Natal. Para ustaz pun sibuk bertentangan pendapat. Ada yang memperbolehkan merayakan dan mengucapkan selamat pada umat Kristen sepanjang bukan ikut ibadah, ada yang tegas melarang. Haikal ikut pendapat kedua, tidak merayakan sama sekali serta melarang setiap penghuni rumahnya memberi ucapan selamat, kecuali dirinya.

Tahun lalu Haikal berkunjung ke gereja pada perayaan malam Natal. Di atas mimbar, dia berpidato menyerukan pentingnya toleransi. Bertentangan dengan semua pidatonya, Haikal melarang Jeanne mengucapkan selamat Natal pada ibunya sendiri.

Sudah tiga tahun ini Jeanne tidak leluasa menemani ibunya merayakan Natal. Mengucapkan pun harus sembunyi-sembunyi. Di masa tuanya, setiap akhir tahun sang Ibu harus pergi rumah keluarga besarnya yang seiman hanya agar tidak kesepian pada musim Natal. Perasaan bersalah pada ibunya menggerogoti Jeanne bertahun-tahun.

Sejatinya, toleransi sudah mengakar kuat dalam diri Jeanne. Masa kecilnya dipengaruhi dua agama sekaligus. Islam dari pihak ayah serta Katolik dari pihak ibu. Kedua orang tuanya merangkul perbedaan tanpa keributan, malah mewarnai kehidupan rumah tangga.

Sang Ayah mengajak Jeanne solat lima kali sehari, berpuasa, mengajari pentingnya zakat. Sang Ibu mengajaknya ke gereja, membacakan kisah Alkitab dari buku bergambar yang sangat bagus, serta mendaftarkan dirinya ke sekolah Minggu.

Apakah Jeanne bingung? Dia sempat bertanya mengenai perbedaan ajaran agama orang tuanya. Kenapa Yesus dianggap Tuhan dalam agama ibunya tapi Isa A.S hanya dianggap nabi pada agama ayahnya. Namun kebingungan itu cuma sesaat. Jeanne tidak ambil pusing pada jawaban orang tua dan guru agamanya. Selama dia bisa bersenang-senang, maka semua beres. Jeanne bahagia-bahagia saja merayakan dua hari besar keagamaan. Malah sangat menguntungkan mendapat dua kali hadiah dalam satu tahun ketika teman seumurannya cuma diberi hadiah sekali setahun. Jeanne menganggap itu semua keistimewaan.

Memang, Jeanne akhirnya memilih Islam dicantumkan dalam data siswa. Hal ini berdampak pada pelajaran agama yang harus diikuti di sekolah. Kenapa memilih Islam? Sebab teman sekolahnya kebanyakan Islam. Tidak asyik harus keluar kelas sendirian pada saat jam pelajaran agama Islam.

Ponsel Jeanne berbunyi, mendistraksi Jeanne dari perasaan mellow.

"Kak Rion."

[Kamu di mana?]

"Di lobi, dekat pohon Natal. Kakak di mana?"

[Kitchenette, masuk dari Food Society.]

Jeanne mengakhiri percakapannya lalu menemui Rion. Laki-laki itu sibuk di depan laptop mengetik sesuatu. Sesekali jemarinya berpindah ke smartphone. Rion belum memesan makanan. Dia hanya ditemani gelas kaca berisi sesuatu berwarna merah cerah.

DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang