40. APARTEMEN HAIKAL

242 12 1
                                    

April 2017

Selepas solat tarawih berjamaah, Haikal membawa Jeanne ke apartemen tak jauh dari Hotel Pullman, masih di kawasan segitiga emas.

Jeanne tak percaya kepalanya mengangguk mengiakan tawaran Haikal. Mungkin kolesterolnya naik setelah banyak makan daging domba atau dirinya terkena stroke ringan. Entahlah, Jeanne tak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Haikal tidak menjanjikan apa-apa, uang pun tidak. Kalaupun menjanjikan uang, seharusnya Jeanne tak menerima tawaran begitu saja. Dia bukan pelacur. Bukannya sok suci, tapi keperawanannya masih terjaga. Jeanne tampak urakan, tapi tidak akan dengan mudah melemparkan diri ke pelukan laki-laki.

Lalu apa yang terjadi kini? Dirinya tidak dalam posisi butuh uang mendesak. Penghasilan ibunya ditambah bisnis kecil-kecilannya sanggup menopang Jeanne secara finansial lebih dari cukup. Kenapa dengan murahannya mau saja menerima ide Haikal? Digauli tanpa dinikahi untuk mengetes ucapannya.

Apartemen Haikal memancarkan aura hangat dan nyaman. Dindingnya dicat putih krem, memberikan kesan luas dan cerah. Lantainya dilapisi kayu berwarna cokelat muda, menambah nuansa natural dan hangat.

Jeanne menjatuhkan bokong ke sofa. Kakinya terbenam dalam karpet bulu tebal berwarna havana. Agaknya Haikal suka membaca, atau rak buku built-in yang memajang koleksi buku politik itu hanya pajangan untuk mengesankan para tamu.

"Kamu orang pertama yang saya izinkan datang ke ruang privasiku." Haikal menjelaskan tanpa diminta. Alih-alih tersanjung, bulu kuduk Jeanne meremang.

"Artinya nggak ada yang tahu tempat ini?" tanya Jeanne.

"Nggak ada. Firman atau Asyifa pun nggak tahu."

"Kalau istri Bapak?"

"Dia adalah orang yang paling tidak boleh tahu. Tempat ini adalah rahasia kecil saya."

Haikal mendekat, tetapi Jeanne bangkit dari sofa. Dia menyesali keputusan gegabah yang dibuat tanpa berpikir.

Jeanne ingin meredakan debaran jantungnya. Dia melihat-lihat ruangan. Vas bunga besar yang terbuat dari kaca Murano ditempatkan di atas grand piano. Bunga lili putih mengisinya, indah dan harum.

Jeanne berhenti, melarikan jemarinya menjamah tuts piano. Denting asal-asalan terdengar.

Haikal duduk di kursi piano. "Sini," ajaknya.

"Aku nggak bisa, Pak." Jeanne menjauh. Benda-benda orang kaya ini tak serasi dengan dirinya.

"Nggak bisa main piano?"

"Iya, nggak pernah minat."

Jemari Haikal menyusuri tuts piano, memainkan beberapa melodi yang asing bagi telinga Jeanne. Kemudian dia menoleh, "Punya lagu kesukaan?"

"Banyak," sahut Jeanne. "Lagi suka degerin lagunya BTS."

"Gimana?"

Jeanne mengambil ponsel, tanpa ragu memutar music video yang sering diputar belakangan ini. "Young Forever," cetusnya lantas ngerap bersama vokalis aslinya.

"Forever..." Jeanne menyanyi antusias.

Haikal menonton Jeanne menggelar konser tunggal. Bernyanyi lepas tanpa beban. Embusan tawa gemas terdengar. Haikal lupa kapan terakhir kali hatinya terasa sehangat ini. Tidak ada kecurigaan ketika berdekatan. Haikal lelah dengan hubungan penuh intensi.

Obrolan sehari-harinya formal dan penuh tujuan. Dunia politik teramat kejam. Dikelilingi manusia bertampang selugu domba bukan artinya tenang-tenang saja. Senyum mereka palsu. Tinggal menunggu waktu ketika topeng domba tersingkap dan mempertontonkan sosok sesungguhnya, serigala yang siap menerkam.

DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang