Desember 2023
"Aku nggak bisa gerak waktu lihat Kak Rion gituan sama Nia." Jeanne meringis mengenang peristiwa itu. Pilihannya banyak. Di lapangan beberapa kakak kelas bermain bola. Teriakan Jeanne sudah pasti mengundang perhatian. Kalau malas mengundang keributan, Jeanne bisa pergi tanpa ketahuan. Namun dia memilih menonton semua adegan dewasa di mana Rion dan Virginia merupakan pemerannya sampai tamat.
"Kamu pasti trauma." Rion merasa bersalah perbuatan masa remajanya sudah menodai mata dan pikiran anak di bawah umur. "Saya kira sudah nggak ada orang."
Trauma bukan kata yang cocok. Jeanne memang syok. Itulah pertama kalinya dia menyaksikan adegan porno di depan matanya. Bagaimana seorang laki-laki menyetubuhi perempuan, bagaimana erangan bersahutan dari ruangan. Jiwanya terguncang lebih parah mengingat Rion lah pelaku perbuatan mesum itu. Kakak kelas yang ditaksir dan dikaguminya.
"Aku kepikiran selama berhari-hari. Takut tapi horny juga. Punya Kak Rion besar banget. Aku pikir Nia bakal kesakitan dimasukin benda tumpul sebesar itu, tapi kayaknya malah keenakan ya."
Rion tergelak antara merasa lucu juga malu. "Benda tumpul. Bahasamu itu, Jeanne."
"Ya emang benda tumpul. Masa benda tajam?"
Rion membasahi kerongkongan. Memori masa remaja menyerbu masuk pikirannya. Virginia Wongso merupakan gadis muda yang cantik. Tubuhnya ramping, putih mulus, dan senantiasa menguarkan aroma perpaduan vanilla, kelapa, dan citrus. Kecantikannya menjadi perbincangan di antara siswa laki-laki. Satu hal yang kebanyakan orang tidak tahu, di usia relatif muda, Virginia jago memuaskan birahi laki-laki.
"Saya bukan malaikat, Jeanne." Bukan maksud Rion meminta kenakalan masa remajanya dimaklumi. Bagaimanapun dia paham perbuatannya sangat tidak terpuji dan tidak layak dicontoh. "Saya terbeban."
"Oleh?"
"Harapan, Jeanne. Harapan orang sekitar. Kamu tahu kan gimana orang memandang saya?"
Jeanne sangat paham, bahkan dirinya sendiri menganggap Rion sosok yang flawless. Ganteng secara fisik, otak lumayan encer, berbakat musik, baik hati, dan penyabar.
"Coba kalau pas kalah di pemilihan OSIS itu Kak Rion ngereog. Aku rasa orang-orang nggak akan mikir Kakak sesempurna itu. Mungkin fans Kakak nggak bakalan membludak. Atau Kakak bisa coba sedikit nakal. Terlambat datang ke sekolah atau lupa bawa topi pas upacara misalnya biar dijemur."
Rion tersenyum tipis. "Kenapa saya nggak kepikiran ya?"
"Bukan nggak kepikiran. Kak Rion takut dinilai jelek sama orang-orang."
Rion tercenung sesaat. "Ya, mungkin juga."
Jeanne mencoba menganalisis kecil-kecilan. Walau dia bukan orang yang pintar-pintar amat, setidaknya nalarnya lumayan jalan.
"Pasti bukan Kak Rion yang ngajakin begituan di ruang OSIS," tembak Jeanne.
"Nia yang minta. Katanya mumpung sekolah sepi."
"Emang Kak Rion nggak ingat janji sama aku balikin kotak bekal?"
Rion menjawab dengan gelengan. "Saya cuma ingat Virginia protes hadiah Valentine's Day-nya terlalu murah. Bukan protes, saya tahu itu akal-akalan dia untuk ngajak saya melakukan itu lagi."
"Tunggu, tunggu," potong Jeanne, "lagi? Berarti pernah."
Rion mengangguk. "Beberapa kali di rumahnya kalau pas lagi kosong."
"Wanjirrr..." Bola mata Jeanne melebar. "Ketagihan tuh dia dicocol barang Kak Rion."
Rion mengabaikan celetukan mesum Jeanne dan melanjutkan ceritanya. "Waktu itu uang jajan saya terbatas. Ada sih, tapi nggak cukup membalas senilai hadiah yang dia kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVERSUM
RomancePelangi indah karena berwarna-warni. Bunga cantik karena tak serupa. Manusia bertoleransi pada perbedaan asalkan bukan dirinya sendiri dan berpikir untuk mencapai kebahagiaan haruslah memiliki persamaan. Jeanne Noura menyukai Hilarion Praharsa seja...