38. GELAGAT

101 12 3
                                    

April 2017

Jeanne berdiri dengan berkacak pinggang, memandangi buket bunga peony yang terpajang manis di meja belajarnya.

"Aneh ya, Ma. Padahal ulang tahun Mama bulan Juni. Masih lama. Kenapa aki-aki itu ngucapin sekarang, mana kasih bunga lagi." Begitulah dengan tidak pekanya Jeanne membahas kejadian Haikal datang malam-malam membawa buket bunga peony tak lama setelah laki-laki itu pulang.

"Jeanne, anak Mama yang paling cantik," Cicilia mencubit gemas hidung putri semata wayangnya. Penampakan luar, Jeanne merupakan pemberontak, tetapi Cicilia adalah ibunya. Dia kenal sang putri sejak dalam kandungan. Baginya, Jeanne hanya perempuan muda yang masih hijau. Fakir asmara, miskin pengalaman, terutama mengenai laki-laki. Cicilia tahu putri kecilnya sempat mengejar kakak kelas semasa SMA walau tidak tahu siapa orangnya. Namun sebentar saja, Jeanne tampak kehilangan minat. Lelah berusaha mendapatkan hati sang kakak kelas, tak sekali pun Jeanne tampak dekat dengan lawan jenis sampai sekarang. Wajar jika Jeanne gagap membaca gelagat ada pria menyukainya. "Pak Haikal itu sukanya sama kamu, bukan Mama."

"Masa sih, Ma? Mama salah ah. Buktinya kasih bunga buat Mama, bukan buat aku," bantah Jeanne. Haikal Mahardika itu pria matang dan punya jabatan. Menyukai mahasiswi pembuat onar seperti dirinya bisa merusak reputasi.

"Maunya buat kamu, tapi beliau gengsi. Tanggapan kamu begitu sih, cengengesan terus."

Jeanne tertawa mengejek. "Bukan gengsi, Ma, tapi sadar diri. Umur udah tua, istri udah punya, masa ngejar-ngejar daun muda? Jeanne juga nggak mau kali sama aki-aki itu. Mending sama Mama aja. Umurnya juga lebih tua daripada Mama."

Cicilia ikut tertawa. Ucapan Jeanne terkadang nyeleneh, tapi benar adanya. Cicilia berkhayal andaikan Haikal berstatus lajang, dirinya tak akan ragu menyodorkan putri tunggalnya untuk mendampingi Haikal Mahardika. Yah, Cicilia berpikir pragmatis. Usia cuma soal angka. Cinta pun akan tumbuh karena terbiasa. Di luar itu semua, Haikal Mahardika memenuhi syarat menjadi suami. Secara fisik tidak buruk, malah cukup tampan untuk pria seusianya. Dia pun menjaga kebugaran tubuh, terbukti dari perutnya yang masih rata, bukan buncit sebagaimana pria sebayanya. Bibit, bebet, bobot, jangan ditanya, jelas dan mapan. Menjamin kehidupan Jeanne di masa depan.

"Kalau Pak Haikal belum nikah, kamu mau sama dia?" tanya Cicilia.

"Malah makin serem, Ma kalau cowok umur segitu belum nikah, malah ngejar daun muda. Jangan-jangan punya fetish aneh. Hiiii..." Jeanne pura-pura bergidik.

"Ada-ada saja kamu ini. Ya sudah, kalau nggak mau orangnya, bunganya mau kan?"

"Nggak suka bunga peony. Sukanya bunga deposito."

Cicilia tak pernah mengajari putrinya bersikap materialistis. Dia butuh uang. Hanya saja menyinggung kesukaan pada uang merupakan perbuatan tercela menurutnya. Agaknya Jeanne tidak sepakat.

"Makanya belajar yang rajin, terus kerja di perusahaan ternama. Nanti cari suami yang sepadan di tempat kerja. Cuma, cari pacar pas kerja itu sulit, Nak. Kebanyakan sudah menikah. Sekarang saatnya kamu mulai cari jodoh di kampus. Sekarang sambil menunggu, bawa saja bunga dari Pak Haikal. Ingat, Jeanne, meskipun kamu nggak ada rasa sama beliau, tetap sopan. Jangan kasar. Tolaklah dengan cara sehalus mungkin."

Itulah sepenggal dialog Jeanne dengan sang ibu, menjelaskan asal muasal bunga itu berada di kamarnya. Percuma Jeanne menolak, Cicilia tetap memaksa dirinya menerima persembahan Haikal.

Sebenarnya Jeanne tak ambil pusing dengan Haikal. Mau dia kayang, joget bugil di jalan, atau jumpalitan, Jeanne persilakan saja, malah dia akan menonton dan mengabadikannya. Namun ucapan ibunya tak ayal mengganggu Jeanne.

DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang