14. MENJILAT LUDAH SENDIRI

222 8 1
                                    

Desember 2023

"Panjang, kalau dihisap keluar putih-putih. Apa hayo?" Jeanne tertawa tak terkendali lalu cegukan.

Hanya memegangi tubuh ramping yang menggeliat ke sana kemari sudah lumayan sulit, ditambah sekarang harus memikirkan jawaban dari pertanyaan nyeleneh.

"Ih, mukanya merah." Jeanne menunjuk hidung Rion. "Jawabannya rokok. Udah ngeres duluan ya? HAHAHA!"

Jeanne menyemburkan tawa berisik. Bau alkohol menguar kuat dari mulutnya. Rion hampir jatuh pingsan. Pada saat genting seperti sekarang, Rion memikirkan gurita. Random memang, tapi dia butuh delapan tangan untuk menyangga tubuh Jeanne, menutup telinga dan hidungnya sekaligus membantu menyangga tubuhnya sendiri.

Susah payah Rion menyeret langkah dari kelab ke parkiran. Jeanne tampaknya tidak memahami kesulitan Rion, malah menekan punggungnya hingga Rion nyaris jatuh mencium lantai marmer. 

"Kamu mau diantar ke mana?" Rion mengalihkan pembicaraan.

"Ke hatimu boleh?" Jeanne mencolek dagu Rion.

Rion berdecak. Tidak mungkin membawa perempuan mabuk ke rumah. Bisa digantung orang tuanya, terlebih mamanya super cerewet. Habis telinga Rion menyimak omelannya. Jangan lupakan Veda. Kadar keingin tahuannya melebihi wartawan gosip. Kalau cuma untuk konsumsi pribadi, Rion tidak keberatan berbagi informasi. Masalahnya, Veda mustahil tidak menyebarkan identitas Jeanne. Dipastikan Haikal segera tahu dan rumah mereka bakal digerebek orang suruhannya.

Lalu bagaimana? Meninggalkan Jeanne di sini, Rion tidak tega.

"Pak!" Rion memanggil satpam. Pria jangkung agak buncit itu tengah melakukan patroli malam di sekitar kelab.

"Ya, Mas?" Si satpam menghampiri Rion.

"Ada hotel atau penginapan di sekitar sini?" Lebih aman begitu, buka satu kamar untuk Jeanne. Rion bisa meninggalkannya dengan tenang. Paling tidak, Jeanne aman untuk malam ini.

"Halo, Pak?" Jeanne melambaikan tangan. "Mau main tebak-tebakan?"

Rion buru-buru membekap mulut Jeanne sebelum dia mengeluarkan lelucon absurdnya. Pak satpam mengulum senyum, tampaknya paham sekali dengan situasi Rion.

"Masnya lurus terus, ikutin jalan ini. Ada hotel, biasa buat yang habis dari kelab."

Rion mengucapkan terima kasih lalu memapah Jeanne menuju satu-satunya hotel yang dimaksud.

Furnitur hotel ini serba merah. Sofanya merah, ada dekorasi tirai transparan merah pula. Lipstik dan seragam petugas penerima tamu pun merah. Sengaja diseting membakar birahi para tamu.

Rion menahan mulutnya mengeluarkan komentar tidak senonoh. Daftarkan saja Jeanne lalu dirinya sendiri angkat kaki dari sini.

Registrasi hotel ini sangat mudah. Hanya meminta KTP sebagaimana hotel pada umumnya, tetapi tidak peduli pada surat nikah. Salah satu petugas bahkan secara sukarela membantu Rion memapah Jeanne sampai ke kamar.

Semasa kondisi finansial ayahnya baik, keluarga Rion sering bepergian ke luar kota. Ayahnya selalu mem-booking hotel bintang lima. Lengkap dan mewah dilihat dari sisi fasilitas.

Hotel darurat ini jauh dari standar Rion. Kamarnya sederhana. Cuma ada ranjang queen size, meja rias, dan kamar mandi. Tidak ada pantry yang menyediakan kompor atau oven. Pihak manajemen hotel menyiapkan kamar hanya untuk bermalam dalam waktu singkat.

"Jeanne, malam ini kamu di sini. Saya pulang," pamit Rion.

Jeanne menggeleng cepat, "Nggak mau ditinggal."

DIVERSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang