©ia(n)©

6 1 0
                                    

Mungkin saja tubuhnya yang terlihat ringkih itu menyimpan banyak cerita, aku sudah 8 tahun lamanya tinggal bersama suamiku, dia bernama Ian. Orang-orang tak peduli dengan nama panjangnya, orang-orang kami lebih memilih menyebut nama yang lebih mudah di ingat. Tapi aku berbeda, sebagai seorang istri yang 8 tahun ini hidup miskin, sama sekali aku tak melupakan nama lengkapnya.

Aku hidup bersama Ian penuh dengan kelaparan dan kurang uang, sebetulnya bukan benar benar kelaparan, tapi opsi makanan kami hanya sekitar hasil hasil laut. Tahu sendiri bahwa, Ian hanya nelayan dengan mesin disel. Tubuhnya ringkih dan sering sakit bila terlalu lama berada di tengah laut.

" Mbak, aku aku miyang¹* sore ini" ungkap Ian. Meski ia adalah suamiku, dia memanggil ku "mbak". Tidak seperti suami suami Jawa lain yang memilih mem pressure istri istri mereka dengan sebutan "dik" agar terkesan lebih melemahkan dan melindungi, Ian memilih menyebut aku sebagai embaknya, itu penghormatan terakhir Ian kepada ku. Ian tak mampu menghormat ku dengan uang atau makanan.

"Dik" panggil ku untuk Ian suamiku , aku aslinya tidak apa bila di panggil dengan sebutan "dik" seperti yang lain" ungkapku suatu ketika. Tapi Ian menolak, mungkin pria ringkih itu malu dengan perawakan dan penghasilannya dari laut yang tidak seberapa. Lagipula aku sendiri lebih tua 2 tahun.

Kami menikah karena saling suka tidak biasanya prawan seperti ku menikah karena keinginan sendiri, tapi mau bagaimana lagi aku menyukai Ian yang meskipun miskin, entah mengapa aku suka saja dengan Ian. Romo ku gak habis pikir waktu itu, padahal dia sudah menjodohkan ku dengan banyak pria, tapi aku mati matikan menolak mereka semua dengan tegas, pria pria itu dari kalangan berada, ningrat dan para Putra kiyai, aku menolak karena aku ingin menolaknya saja.

Asal tau saja, dulu, Aku bukanlah gadis perawan biasa, aku gadis yang lahir dari keluarga ningrat, bahkan garis darah ku sangat dekat dengan keraton. Orang orang berhormat begitu rupa dengan ku, seolah aku memancarkan radiasi agar mereka menundukkan pandangan, seolah akan patuh terhadap perintah-perintah ku. Itu pun berlaku juga bagi Ian, suami ku yang miskin itu.

"Nduk, jika kamu menikah sama cowokmu itu, kamu bakal hidup miskin loh, romo ngak terima, romo udah besarin kamu dengan harta benda, lagian kamu gak bakal sanggup" ucap romoku sebelum aku dan Ian menikah.

Aku tidak pernah mendebat Romo, tindakan semacam itu tidaklah beretika sama sekali, tapi meski begitu, aku punya keyakinan kalau aku bakal menikah hanya dengan Ian semata, lelaki miskin yang aku suka, sudah kukatakan Orang orang berhormat begitu rupa dengan ku, seolah aku memancarkan radiasi agar mereka menundukkan pandangan, seolah akan patuh terhadap perintah-perintah ku. Itu pun berlaku juga bagi Romoku, bapak ku yang bajik itu.

Rama ku patuh, beliau mengizinkan ku menikah dengan Ian meskipun miskin papa, bahkan Romo berencana bersedia membiayai semua pesta megah pernikahan kami, lalu membuat sebuah istana dimana banyak sekali para pembantu yang siap siaga memenuhi kebutuhan ku, dia memang tetap romoku, beliau tidak mungkin membiarkan aku hidup dalam kemiskinan.

Hanya saja aku menolak, aku mengatakan dengan tegas kepada Romo ku, lagi-lagi ramaku patuh, " maafkan aku Romo, dek Ian tidak mungkin aku lukai perasaan nya dengan kebaikan Romo itu, tolong Romo mengerti ya!" Pintaku. Asal tahu saja, laki-laki itu, Ketika dihadapkan pada wanita, maka setidaknya mereka akan menaruh harga di mereka di dalam harta-harta benda. bukankah sangat menyiksa bagi Ian,  jika lelaki miskin seperti dia harus menerima penghinaan sebesar itu.

Jadi aku dan Ian sepakat, Aku hanya memberikan ian permodalan setara seperti yang dia keluarkan saat pernikahan kami, permodalan yang Ian kumpulkan selama bertahun-tahun untuk menikah dengan aku, perempuan yang dia puja.

Ian sangat miskin, bahkan jika dia berlayar selama 10 tahun lamanya, maka kemiskinan itu tidak akan bergeser satu senti pun, dia nelayan dengan sampan kayu, berlayar sendiri untuk menjala ikan, jika tidak beruntung, maka ikan yang dia bawa tidak akan bisa dijual di penampungan, dimakan pun tidak bisa atau bisa saja dimakan tapi harus dipaksa sedemikian rupa.

apa yang membuat aku mau menikah dengan pria ringkih seperti dirinya?,  tentu jawabannya sudah jelas, aku sangat suka memandang kedua bola mata Ian, bola mata itu sangat indah. aku Suka sekali memandang bola matanya itu, apalagi ketika dia baru saja membuka mata setelah terbangun dari tidurnya diatas dipan bambu milik kami, matanya itu, entah mengapa sangat indah. Sayangnya, pancaran radiasi yang membuat orang orang menundukkan pandangan, seolah akan patuh terhadap perintah-perintah ku. Itu pun berlaku bagi Ian, suami ku yang miskin itu cepat cepat menunduk mengalihkan tatap indahnya. Aku tidak menyukainya, aku hanya ingin menatap mata indah itu, aku serius.

Sebagai perempuan, menjadi miskin bukanlah masalah, asal aku bersama Ian, maka Ian tidak boleh mati. Tapi nelayan tunggal seperti dirinya, bukankah lebih dekat dengan kematian?, ya mungkin saja, tapi jika dia yang miskin itu tidak berlayar, maka kematian karena kelaparan, akan mempercepat kematian kami, lagi pula, Ian sudah lebih dari 15 tahun berlayar sendiri, menerjang badai dan ombak laut lepas, tapi nyatanya Ian baik baik saja, dia tetap miskin, tapi dia hidup, aku lebih memilih peluang hidup nya daripada mati kelaparan.

Buka saja begitu, entah karena Orang orang berhormat begitu rupa dengan ku, seolah aku memancarkan radiasi agar mereka menundukkan pandangan, seolah akan patuh terhadap perintah-perintah ku. Ian melakukan lebih dari itu, aku katakan kalau suamiku itu ringkih, tapi dia melakukan segalanya yang biasanya dilakukan istri, Jikalau dia tak berlayar, maka saat itu, dia adalah "istri" bagiku, ia memijatku, memanjakan ku membuat masakan, beberes rumah, mencuci pakaian, membereskan semua alat makan bahkan bila aku meminta untuk kita berhubungan badan, dia akan melakukannya tanpa protes, lalu aku?, benar, aku tidak melakukan apa pun, bukan karena aku tidak mau tapi, Ian memaksa.

Di gubuk kami yang kecil aku melakukan hal yang selayaknya dilakukan juragan, sama seperti saat aku masih di rumah Romo, aku selalu punya orang orang yang melakukan sesuruhanku, membantuku, mempermudah kehidupan ku.

"Mbak, selama ini aku tidak bisa memberikan apa pun, sedang kamu terbiasa hidup dalam kemudahan, dikelilingi pesuruh dan hidup layaknya ratu" ungkapnya suatu ketika, aku bergeming, tak dapat membatah ataupun mempersoalkan. " Kamu tidak perlu menghawatirkan aku mbak, aku ini anak laut, anak laut itu tidak mati ditelan badai"

Jadi yang bisa ku perbuat adalah menikmati kemiskinan ini, terlebih mata ian yang bak mutiara hitam, indah sekali. Aku rela menukar segalanya asal tatap terus bersama Ian, dan terus melihat keindahan tatap matanya.

Ian memang miskin, dan selama 8 tahun ini aku hidup dikelilingi kemiskinan. Aku tidak bertanya masa lalunya, apakah Ian pernah memuja perempuan selain ku di masa lalu, atau bagaimana dia menghabiskan masa mudanya, aku tidak pernah bertanya, aku takut membuat dia terluka, dia memang memiliki mata indah, tubuh yang terlatih, tapi aku tahu persis, isi kepalanya tidak lah sesederhana kehidupan kami selama ini.

"Mbak, Aku akan berangkat sekarang, aku sudah menyiapkan ikan bakar di dapur, doakan aku" Ian berlutut mengecup punggung tanganku, aku mendekapnya di dadaku memeluk erat, " kamu gak perlu minta dik, aku akan mendoakan mu selalu, segera lah pulang, aku mohon " ucapku ke telinga Ian.

Dia pergi, dia ringkih tapi terlatih, aku melihat punggungnya yang di sengat cahaya mentari sore, dia Ian priaku yang begitu miskin. Aku tidak akan pernah menyesal hidup dalam kemiskinan, aku bersumpah.

~~~~~~~~

Glosarium :

Miyang : kegiatan pergi melaut untuk mencari ikan

Semesta Itu Kamu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang